Sederhananya tidak ada manusia yang tidak senang dengan cerita. Penyampaian sesuatu dengan bercerita/berkisah dapat memersuasi audiensi, terutama cerita faktual yang logis dan masuk akal. Pada kenyataan teknik story telling lebih banyak digunakan oleh pembicara publik dibandingkan penulis di Indonesia. Buku-buku ilmiah dari penulis Indonesia "kering"dari cerita.
Hanya segelintir penulis sains menggunakan teknik ini dalam karya tulis ilmiah (KTI) sebagaimana pengalaman saya meninjau karya mereka. Selebihnya menggunakan teknik monoton "memberi tahu" yang menempatkan ia seolah-olah lebih tahu daripada pembaca. Teknik ini selalu menggunakan predikat adalah, ialah, atau merupakan.
Contohnya: Manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya ....
Monoton!
Kelangkaan Stok Cerita
Ilmuwan dan akademisi di Indonesia memang tidak biasa menggunakan story telling dalam KTI. Tampaknya ada anggapan teknik ini kurang ilmiah karena dianggap seperti mendongeng. Padahal, paradigma naratif dengan cerita faktual dapat memengaruhi pembaca/audiensi untuk memahami logika awal yang hendak disampaikan penulis.Â
Seperti halnya David Eipstein yang menyajikan kisah masa kecil Tiger Wood dan Roger Frederer sebagai atlet kelas dunia. Tiger adalah spesialis dan Roger adalah generalis. Keduanya punya kesamaan dan keduanya tumbuh sebagai calon juara dunia dengan cara yang berbeda.
Karena kebiasaan menulis dengan cara memberi tahu, para penulis KTI di Indonesia tidak berpikir untuk menyimpan stok cerita atau meriset cerita-cerita yang dapat mendukung penelitian mereka. Namun, cerita-cerita itu malah muncul dalam obrolan sambil ngopi dan menguap bersama kepulan asap kopi. Inilah salah satu kelemahan kita sebagai bangsa yang lebih senang bertutur daripada menuliskannya.
Ketika membahas topik tentang penyuntingan naskah, saya sampaikan kisah antara Chairil Anwar dan Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Cerita ini saya kutip dari majalah lawas Berita Buku yang diterbitkan oleh Ikapi.
Suatu hari Chairil kehabisan uang. Lalu, ia bertandang ke Balai Pustaka meminta pekerjaan kepada STA. Sudah biasa STA memberi pekerjaan redaksi kepada Chairil. Dari Balai Pustaka Chairil mendapat pekerjaan menerjemahkan naskah berbahasa asing. Selang beberapa hari Chairil kembali ke Balai Pustaka dan membawa setumpuk hasil terjemahannya.
STA membaca beberapa halaman dan merasa puas. Lalu, memberi honor kepada Chairil.
Beberapa hari kemudian STA bertemu dengan Chairil. Ia mendamprat si Binatang Jalang itu. Rupanya STA merasa ditipu oleh Chairil. Apa pasalnya? Chairil tidak menerjemahkan seluruh naskah, tetapi hanya mengetik ulang kembali naskah itu. Dengan enteng Chairil menjawab.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!