Pernah setelah merantau ke Bandung awal tahun 1990-an, saya mudik ke Medan dengan keterbatasan. Saya dan abang menumpang bus antarprovinsi yang paling ekonomis. Sangat mengesalkan karena bus itu sering berhenti di setiap provinsi.
Bus itu menabrak palang kereta malam hari karena sopirnya mengantuk. Untunglah tak ada yang celaka.
Bus dipaksa berjalan tanpa kaca depan. Hanya selembar plastik transparan digunakan untuk penutup.Â
Bus sampai di daerah Padang Sidimpuan pas hari pertama lebaran. Kami lagi-lagi terpaksa ikut salat Id di sana. Sampai di Medan, orangtua sudah harap-harap cemas. Namun, kesusahan di jalan selama hampir 4 hari 4 malam itu terbayar lunas dengan pelukan kedua orangtua.
Ada beberapa kali momen mudik menggunakan bus antarprovinsi dan pesawat yang saya jalani. Tapi, kini mudik tinggal kenangan ketika satu-satunya orangtua yang tersisa, ibu saya, akhirnya dipanggil juga oleh Yang Mahakuasa Desember 2021. Satu-satunya pengikat rindu dan muara kasih sayang itu telah tiada.
Saya sempat kembali ke Medan untuk menjenguk ibu yang sakit. Setahun sebelumnya 2020, kami juga kehilangan keluarga dekat. Keponakan pertama saya menyerah digempur corona delta. Ia meninggal setelah melahirkan anak keduanya dengan cara operasi caesar. Alhamdulillah, bayinya selamat tak terpapar. Namun, lebaran tahun 2021 terasa berbeda ketika tak ada lagi canda tawa pada momen lebaran itu. Rasa kehilangan memupuskan api semangat silaturahmi.
Baru sekarang terasa ketika tak ada lagi orangtua. Teman bertanya, "Mudik, Pak?"
Jawabannya terasa hampa karena sudah tidak ada lagi ayah-ibu yang hendak dijenguk dan dipeluk. Tak ada lagi tempat bersimpuh meminta ampun.
Ceramah tarawih dua malam lalu mengisahkan tentang Rasulullah saw. yang mengamini doa Malaikat Jibril.Â
Dari Jabir r.a. bahwa suatu ketika Rasulullah menaiki mimbar. Pada tiga anak tangga yang dinaikinya, beliau mengucapkan amin-amin-amin. Para Sahabat pun bertanya, "Ya Rasulullah, kami semua mendengar engkau mengucapkan amin, amin, amin."
Beliau menjawab, "Ketika aku menaiki tangga pertama, Jibril datang kepadaku dan berkata: 'Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadan namun dosanya tidak diampuni.' Maka Aku mengucapkan amin. Kemudian, Dia (Jibril) berkata: 'Celakalah seorang hamba jika mendapati kedua atau salah satu orangtuanya masih hidup, namun keberadaan kedua orangtuanya tidak membuatnya masuk ke dalam surga.' Aku pun mengucapkan amin. Lalu, Dia (Jibril) berkata lagi: 'Celakalah seorang hamba jika namamu disebutkan di hadapannya, tapi dia tidak bersalawat untukmu. Maka Aku pun mengatakan amin." (H.R. Ibnu Khuzaimah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam shahih al-Tirmidzi)
Sungguh celaka mereka yang diberi kesempatan masih adanya kedua orangtua atau salah satu dari mereka, tetapi tak ada rasa tergerak untuk berjumpa. Tak elok membiarkan sampai semuanya tiada sehingga datang penyesalan yang telat.
Maka dari itu, pulanglah wahai saudara-saudaraku yang masih memiliki ayah-ibu, atau ayah saja, atau ibu saja. Masih ada waktu mengambil keputusan dan berkemas.
Gunakan kesempatan mudik yang langka ini, apalagi semakin besar alangan mudik yang kita hadapi dari tahun ke tahun. Sejatinya kita tak dapat memprediksi waktu akan mampu bertemu lagi dengan orangtua kita. Hari demi hari begitu berharga untuk membahagiakan mereka.
Mudik bagi saya hanya tinggal kenangan. Jika pun berkunjung ke kampung halaman, saya hanya mendapati rumah orangtua saya yang kosong. Hanya ada saksi bisu perabotan rumah dan foto-foto di dinding. Saksi bisu yang menghidupkan kenangan untuk disenyumi atau malah ditangisi. Satu-satunya dorongan untuk mudik kini hanyalah berziarah ke makam kedua orangtua, mendoakan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H