Tradisi menerbitkan buku sendiri (self publishing) tumbuh karena penolakan penerbit sebagai institusi media. Dan Poynter, seorang praktisi perbukuan yang disebut god father untuk ribuan buku yang lahir di Amerika mengatakan "tidak seorang pun yang menghadapi begitu banyak penolakan seperti halnya para penulis". Nama-nama penulis pesohor ini di Amerika dan Eropa telah memulai tradisi menerbitkan buku sendiri pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, seperti Mark Twain, Edgar Alan Poe, dan Virginia Wolf.
Di Indonesia jika melacak sejarah beberapa pendiri penerbit, sejatinya mereka mulai dengan aktivitas penerbitan mandiri (self publishing). Pendiri Penerbit Tiga Serangkai di Solo adalah pasangan suami istri yang berprofesi sebagai guru, Abdullah Marzuki dan Siti Aminah. Mereka melihat celah peluang ketika guru-guru sulit mendapatkan buku pelajaran.Â
Dengan riset sederhana, mereka menyusun sebuah model "buku pintar" pada masa itu lalu menerbitkannya. Pasar ternyata menyambut buku tersebut. Keduanya kemudian mendirikan Penerbit Tiga Serangkai. Nama Tiga Serangkai yang didirikan tahun 1958 dipungut dari nama Toko Buku Tiga yang menjadi langganan mereka membeli buku dan punya andil memasarkan buku karya mereka.
Boleh dibilang pasangan suami-istri guru itu telah sukses melakukan penerbitan mandiri sebelum akhirnya menjadi penerbit konvensional dan penerbit mayor. Lebih dulu dari mereka Penerbit Erlangga didirikan oleh juga seorang guru, Marulam Hoetahoeroek. Berbeda dengan Tiga Serangkai, Marulam merintis Penerbit Erlangga langsung melibatkan para penulis kenalannya seperti Widagdo dalam bidang fisika.
Agak lebih maju tahun 1980-an, seorang Iwan Gayo mendirikan Penerbit Upaya Warga Negara dengan terbitan yang sangat laris pada masa itu yakni Buku Pintar. Iwan Gayo merintis penerbitan ini dari kisah pilu ketika ia rugi total menerbitkan buku kumpulan soal. Buku itu baru selesai dicetak pas saat ujian masuk perguruan tinggi dilaksanakan.
Sejarah Perbukuan Indonesia
Sedikit perlu mengulik sejarah perbukuan atau institusi media di Indonesia. Industri pers dan industri buku berkembang bersamaan akibat penyempurnaan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (1450) yang memicu terjadinya Zaman Pencerahan di Eropa (abad ke-17 dan abad ke-18). Melalui VOC, Belanda memboyong mesin cetak ke Indonesia dan melakukan aktivitas penerbitan pada abad ke-17.
Akhir abad ke-19, usaha penerbitan juga dirintis oleh peranakan Tionghoa di Indonesia dan kaum bumiputra. Setelah kemerdekaan, penerbit bumiputra mulai unjuk gigi, seperti munculnya Penerbit Erlangga dan Penerbit Tiga Serangkai selain Balai Pustaka---penerbit milik Belanda yang kemudian dinasionalisasi.Â
Beberapa penerbit juga didirikan oleh para sastrawan/penulis, seperti Penerbit Dian Rakyat milik Sutan Takdir Alisjahbana dan Penerbit CV Endang milik Achmad Notosoetardjo (Ketua Ikapi pertama tahun 1950).
Dapat disebut bahwa penerbitan di Indonesia didirikan oleh tiga kelompok masyarakat. Pertama, mereka yang memang seorang penulis/sastrawan, jurnalis, dan editor, pernah bekerja di penerbitan sebelumnya. Kedua, mereka yang berprofesi awal sebagai guru dan penulis. Ketiga, mereka yang benar-benar pengusaha dan melihat peluang di industri media. Kelompok terakhir ini secara umum lahir pada masa Orde Baru ketika proyek-proyek perbukuan digiatkan oleh pemerintahan Soeharto.