Keenam tersangka (dari direktur hingga staf) sebagaimana keterangan polisi dijerat dengan pasal berlapis penistaan agama dan ujaran kebencian bernuansa SARA. Walaupun tampak kaget, manajemen HW segera menggunakan strategi apologia dengan segera meminta maaf kepada publik. Lalu, dilanjutkan dengan substrategi pemisahan atau ketidakterhubungan (disosiation/disconnection) dengan mencari siapa biang dari kegaduhan ini dengan memisahkan individu (pembuat iklan) dari perusahaan HW. Artinya, iklan itu tidak merepresentasikan HW secara utuh.
Memang berat bagi manajemen HW untuk merestorasi citranya, apalagi publik kadung menyerang dengan laku HW menistakan agama. Namun, di sisi lain konsumen HW tentu bukanlah orang kebanyakan. HW menyatukan konsep restoran-bar-club yang identik dengan pesta dan gemerlap kehidupan malam. Tentu citranya dalam kasus ini di benak konsumennya boleh jadi tidak terpengaruh. Citra yang justru sangat dihindari, terutama di Indonesia, apabila menjadi public enemy bagi masyarakat yang menjunjung nilai agama alih-alih kemudian menjadi perhatian tokoh politik dan pejabat.Â
Pertanyaan selalu menggantung. Mengapa di Indonesia selalu ada saja invidu yang menggunakan simbol agama untuk dipermainkan atau dikritik tidak pada tempatnya? Tentu jika terjadi di dunia Barat, hal itu dapat dibuyarkan dengan konsep kebebasan berekspresi. Namun, namanya juga manusia, di mana pun sama saja. Kekhilafan menunjukkan ketidakpekaan menjaga etika komunikasi yang di Indonesia sangat sensitif, terutama dalam isu agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H