Pengilustrasian buku melibatkan profesi ilustrator yang harus menghasilkan karya ilustrasi berdasarkan standar dan kaidah pengilustrasian. Sama halnya dengan para editor, ilustrator yang ada saat ini juga sedikit sekali mendapatkan pengetahuan dan keterampilan tentang standar proses dan kaidah pengilustrasian buku.Â
Ilustrator buku dilibatkan dalam membuat ilustrasi untuk kover dan ilustrasi untuk materi buku. Mereka banyak terlibat dalam penerbitan buku anak dan penerbitan buku pendidikan seperti buku teks. Sayangnya, profesi ini khusus buku belum memiliki asosiasi profesi.
Pendesainan buku melibatkan profesi desainer yang menguasai ilmu desain komunikasi visual sehingga dapat menghasilkan desain buku berdasarkan standar dan kaidah pendesainan. Sama halnya dengan editor dan ilustrator, pengetahuan dan keterampilan khusus pendesainan buku jarang atau bahkan tidak diajarkan secara formal. Pendesainan buku berbeda dengan pendesainan media massa lain seperti media berkala. Ada konvensi-konvensi perbukuan yang harus dipahami oleh seorang desainer buku. Asosiasi profesi khusus desainer buku juga belum ada di Indonesia.
Penghalang Profesi Semakin Tinggi
Adanya kesadaran tentang pentingnya mutu buku mendorong disusunnya regulasi tentang standar dan kaidah perbukuan. Mutu buku sendiri dapat diukur berdasarkan indikator berikut ini: 1) materi; 2) penyajian; 3) bahasa; serta 4) desain dan ilustrasi. Pemenuhan terhadap indikator mutu tersebut tentu memerlukan suatu keahlian (pengetahuan, keterampilan, dan sikap). Indikator ini dalam penerbitan buku melibatkan kolaborasi antarprofesi.
Sebagaimana telah diuraikan, profesi atau pelaku perbukuan yang terlibat, yaitu penulis, penerjemah/penyadur, editor, ilustrato, dan desainer. Dengan demikian, terciptanya sebuah buku sejatinya melalui proses yang panjang dan rumit melibatkan beberapa keahlian. Hal ini semestinya mendorong pemerintah juga melakukan pembinaan terhadap pelaku perbukuan melalui pendidikan formal dan nonformal.
Konsekuensi dari munculnya standar mutu, standar proses, dan kaidah perbukuan ini membuat penghalang (entry barier) meninggi pada profesi perbukuan. Saat ini, penghalang itu rendah sehingga siapa pun dapat mengaku dirinya sebagai penulis buku profesional atau editor buku profesional. Pelatihan-pelatihan penulisan buku dan penyuntingan buku yang menjamur kini beberapanya menjadi salah kaprah mengabaikan standar mutu, standar proses, dan kaidah yang harusnya dijunjung tinggi oleh setiap profesi.
Di sisi lain, standar dan kaidah ini juga dapat dijadikan patokan untuk menilai kredibilitas dan kapabilitas sebuah penerbit. Sama halnya dengan profesi perbukuan yang begitu mudah dimasuki, begitu pula terjadi pada penerbitan buku. Data PNRI (Perpunas) tahun 2021 menunjukkan total terdapat 31.572 penerbit di Indonesia yang tersebar di 34 provinsi. Data tersebut diambil berdasarkan penerbit pengaju ISBN sejak 2015--2021. Mari bandingkan dengan data anggota Ikapi 2018 sebanyak 1.488 penerbit.
Tiga puluh ribuan penerbit atau lembaga yang menerbitkan buku tersebut di Indonesia tidak terdefinisikan bagaimana kompetensinya menerbitkan buku. Apakah puluhan ribu penerbit tersebut memiliki personel atau staf yang sangat vital yakni editor? Tentu hal ini memerlukan riset lebih lanjut. Penerbit-penerbit itu dengan fenomena pendidikan formal dan nonformal perbukuan yang minim dapat diperkirakan tidak menjalankan standar dan kaidah perbukuan sebagaimana mestinya.
Karena itu, lahirnya Permendikbudristek Nomor 22/2022 ini sangat operasional untuk menjadi panduan praktis dan teknis dalam menyelenggarakan penerbitan buku yang bermutu berbasis keilmuan. Permen ini juga dapat menjadi acuan lembaga pendidikan tinggi atau lembaga kursus/pelatihan untuk merancang kurikulum pendidikan/pelatihan profesi perbukuan berbasis standar dan kaidah sehingga nantinya melahirkan lulusan yang tesertifikasi.
***
Jadi, mungkin ada yang bertanya: Ngapain sih repot-repot ngurusin standar dan kaidah perbukuan? Selama ini buku dan pelaku perbukuan terus dilahirkan? Bukankah ini menunjukkan kemajuan literasi?