Permendikbudristek Nomor 22 Tahun 2022 tentang Standar Mutu Buku, Standar Proses dan Kaidah Pemerolehan Naskah, dan Standar Proses dan Kaidah Penerbitan Buku. Batang tubuh dan lampiran permen ini berketebalan 53 halaman.Â
Setelah lebih dari dua tahun dirumuskan, akhirnya Mendikbudristek mengesahkanBoleh dikatakan Permendikbudristek ini merupakan permen pertama yang menguraikan standar dan kaidah perbukuan secara lengkap dan detail. Ia merupakan turunan dari amanat UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan dan PP Nomor 75/2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan.
Bidang perbukuan di dalam UU Nomor 3/2017 tersebut memang dibagi atas dua bagian, yaitu pemerolehan naskah dan penerbitan buku. Pembagian ini merupakan hal baru, tetapi sejatinya berbasis pada aktivitas utama penerbitan yaitu pengadaan naskah (akuisisi) dan editorial.
Pemerolehan Naskah
Pemerolehan naskah atau akuisisi naskah mencakup kegiatan penulisan, penerjemahan, dan penyaduran. Kegiatan ini dapat berlangsung di internal penerbit (buku) atau di eksternal penerbit. Di dalam studi penerbitan dikenali dua cara pemerolehan naskah, yaitu cara aktif dan cara pasif.
Cara aktif dilakukan melalui pencarian konten, pencarian penulis, dan penerjemahan/penyaduran. Contoh cara aktif yang dilakukan penerbit yakni mengakuisisi konten KKN di Desa Penari dari Simpleman menjadi sebuah naskah novel. Pencarian konten pada era digital kini memang dimudahkan karena aktivitas memublikasikan konten oleh banyak orang di media sosial.Â
Cara pasif dilakukan melalui penerimaan naskah secara insidental dan penerimaan naskah secara terencana melalui program, seperti sayembara atau lomba. Sifat pasif di sini karena penerbit menunggu datangnya naskah dari penulis. Kontrol berada di tangan penulis apakah ia akan menyerahkan naskahnya pada waktu yang ditentukan atau tidak.
Contoh cara pasif seperti yang dilakukan oleh Penerbit BRIN dengan mengadakan Program Akuisisi Pengetahuan Lokal untuk mendapatkan naskah atau buku pengetahuan lokal dari masyarakat. Alhasil, program ini membuat Penerbit BRIN memperoleh naskah hasil penelitian berbasis konten lokal dari masyarakat---bukan hanya peneliti di BRIN.
Penulisan dan penerjemahan sebagai sebuah pengetahuan, keterampilan, dan sikap dapat diuraikan dalam sebuah proses dan kaidah yang standar. Hal ini sangat berhubungan dengan sertifikasi profesi perbukuan.
Penerbitan Buku
Penerbitan buku mencakup kegiatan pengeditan (naskah), pengilustrasian, dan pendesainan. Kegiatan ini berlangsung di internal penerbit dengan melibatkan profesi editor, ilustrator, dan desainer buku. Adanya pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk menjalankan aktivitas editorial ini di setiap profesi mendorong perlunya profesi ini disertifikasi.
Pengeditan naskah melibatkan profesi editor atau penyunting yang harus melakukan pengeditan berdasarkan standar dan kaidah pengeditan. Sayangnya, ilmu pengeditan naskah---bolehlah disebut editologi---sangat jarang ada di pendidikan formal, seperti di program studi kebahasaan atau ilmu komunikasi. Mata kuliah pengeditan/penyuntingan yang lengkap hanya diajarkan di Program Studi Penerbitan di Politeknik Negeri Media Kreatif. Ada tiga mata kuliah yang secara eksplisit mengajarkan pengeditan, yaitu Dasar-Dasar Penyuntingan, Penyuntingan Fiksi, dan Penyuntingan Nonfiksi.Â
Pengilustrasian buku melibatkan profesi ilustrator yang harus menghasilkan karya ilustrasi berdasarkan standar dan kaidah pengilustrasian. Sama halnya dengan para editor, ilustrator yang ada saat ini juga sedikit sekali mendapatkan pengetahuan dan keterampilan tentang standar proses dan kaidah pengilustrasian buku.Â
Ilustrator buku dilibatkan dalam membuat ilustrasi untuk kover dan ilustrasi untuk materi buku. Mereka banyak terlibat dalam penerbitan buku anak dan penerbitan buku pendidikan seperti buku teks. Sayangnya, profesi ini khusus buku belum memiliki asosiasi profesi.
Pendesainan buku melibatkan profesi desainer yang menguasai ilmu desain komunikasi visual sehingga dapat menghasilkan desain buku berdasarkan standar dan kaidah pendesainan. Sama halnya dengan editor dan ilustrator, pengetahuan dan keterampilan khusus pendesainan buku jarang atau bahkan tidak diajarkan secara formal. Pendesainan buku berbeda dengan pendesainan media massa lain seperti media berkala. Ada konvensi-konvensi perbukuan yang harus dipahami oleh seorang desainer buku. Asosiasi profesi khusus desainer buku juga belum ada di Indonesia.
Penghalang Profesi Semakin Tinggi
Adanya kesadaran tentang pentingnya mutu buku mendorong disusunnya regulasi tentang standar dan kaidah perbukuan. Mutu buku sendiri dapat diukur berdasarkan indikator berikut ini: 1) materi; 2) penyajian; 3) bahasa; serta 4) desain dan ilustrasi. Pemenuhan terhadap indikator mutu tersebut tentu memerlukan suatu keahlian (pengetahuan, keterampilan, dan sikap). Indikator ini dalam penerbitan buku melibatkan kolaborasi antarprofesi.
Sebagaimana telah diuraikan, profesi atau pelaku perbukuan yang terlibat, yaitu penulis, penerjemah/penyadur, editor, ilustrato, dan desainer. Dengan demikian, terciptanya sebuah buku sejatinya melalui proses yang panjang dan rumit melibatkan beberapa keahlian. Hal ini semestinya mendorong pemerintah juga melakukan pembinaan terhadap pelaku perbukuan melalui pendidikan formal dan nonformal.
Konsekuensi dari munculnya standar mutu, standar proses, dan kaidah perbukuan ini membuat penghalang (entry barier) meninggi pada profesi perbukuan. Saat ini, penghalang itu rendah sehingga siapa pun dapat mengaku dirinya sebagai penulis buku profesional atau editor buku profesional. Pelatihan-pelatihan penulisan buku dan penyuntingan buku yang menjamur kini beberapanya menjadi salah kaprah mengabaikan standar mutu, standar proses, dan kaidah yang harusnya dijunjung tinggi oleh setiap profesi.
Di sisi lain, standar dan kaidah ini juga dapat dijadikan patokan untuk menilai kredibilitas dan kapabilitas sebuah penerbit. Sama halnya dengan profesi perbukuan yang begitu mudah dimasuki, begitu pula terjadi pada penerbitan buku. Data PNRI (Perpunas) tahun 2021 menunjukkan total terdapat 31.572 penerbit di Indonesia yang tersebar di 34 provinsi. Data tersebut diambil berdasarkan penerbit pengaju ISBN sejak 2015--2021. Mari bandingkan dengan data anggota Ikapi 2018 sebanyak 1.488 penerbit.
Tiga puluh ribuan penerbit atau lembaga yang menerbitkan buku tersebut di Indonesia tidak terdefinisikan bagaimana kompetensinya menerbitkan buku. Apakah puluhan ribu penerbit tersebut memiliki personel atau staf yang sangat vital yakni editor? Tentu hal ini memerlukan riset lebih lanjut. Penerbit-penerbit itu dengan fenomena pendidikan formal dan nonformal perbukuan yang minim dapat diperkirakan tidak menjalankan standar dan kaidah perbukuan sebagaimana mestinya.
Karena itu, lahirnya Permendikbudristek Nomor 22/2022 ini sangat operasional untuk menjadi panduan praktis dan teknis dalam menyelenggarakan penerbitan buku yang bermutu berbasis keilmuan. Permen ini juga dapat menjadi acuan lembaga pendidikan tinggi atau lembaga kursus/pelatihan untuk merancang kurikulum pendidikan/pelatihan profesi perbukuan berbasis standar dan kaidah sehingga nantinya melahirkan lulusan yang tesertifikasi.
***
Jadi, mungkin ada yang bertanya: Ngapain sih repot-repot ngurusin standar dan kaidah perbukuan? Selama ini buku dan pelaku perbukuan terus dilahirkan? Bukankah ini menunjukkan kemajuan literasi?
Sayangnya, meskipun puluhan, bahkan ratusan ribu buku lahir setiap tahun di Indonesia kini, mutunya tidak terdeteksi---apakah memenuhi standar dan kaidah perbukuan? Kemungkinan buku-buku tidak bermutu yang digarap pelaku perbukuan tidak kompeten sangatlah besar, apalagi kasus-kasus plagiarisme yang menjamur. Semangat berliterasi tanpa standar dan kaidah sama halnya semangat memasak makanan tanpa gastronomi; yang penting masak dan makan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H