Itu sebabnya secara meyakinkan buku-buku ber-ISBN itu tidak identik dengan buku bermutu untuk kasus Indonesia. Kemudian, terjadi gelombang pengajuan ISBN untuk buku-buku pendidikan tinggi. ISBN pun secara salah kaprah dianggap sebagai nomor bukti pengakuan internasional. Penulis buku tidak tahu bahwa ISBN digunakan untuk buku-buku yang  diperdagangkan secara luas atau disediakan secara gratis untuk khalayak pembaca yang luas. Nomor itu berfungsi dalam rantai pasok penerbitan buku untuk memudahkan penjualan, mengecek stok, dan mengidentifikasi buku secara khas.
Buku ecek-ecek alias buku tidak bermutu itu dapat ditandai dari kasus berikut:
- terindikasi plagiat;
- merupakan kumpulan kutipan dari banyak sumber di sana sini;
- tidak sistematis dan logis;
- materi usang, tidak aktual, dan tidak membumi;
- merupakan pengulangan dari buku-buku sebelumnya;
- mengutip karya diri sendiri secara berlebihan;
- mengandung tingkat kemiripan kutipan yang tinggi;
- keliru dalam penulisan bagian-bagian buku, seperti prakata, glosarium, daftar pustaka, dan indeks;
- tidak menarik dan disusun dengan bahasa yang sulit; dan
- mengandung data dan fakta yang meragukan.
***
Pamor buku di kalangan dosen sedikit menaik/meninggi, tetapi artikel ilmiah, apalagi terindeks Scopus masih menjadi primadona. Buku sudah dilirik, tetapi sering kali berupa "lirikan nakal" yang menempatkan buku sekadar memenuhi kecukupan angka kredit untuk naik pangkat. Jarang sekali buku dipandang sebagai media untuk mengukuhkan hasil riset dan pemikiran yang lebih utuh, mendalam, dan meluas sehingga dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Fenomena matinya kepakaran seperti yang ditengarai oleh Tom Nicholas di dalam bukunya saya kira juga disebabkan oleh dosen-dosen yang tidak menulis buku atau tidak bersungguh-sungguh menulis buku, terutama buku ajar yang mudah dicerna oleh mahasiswa. Dosen mengajar tanpa buku atau tanpa merujuk buku sudah menjadi pemandangan yang biasa.Â
Bagitupun soal buku. Mereka yang menawarkan solusi menulis dan menerbitkan buku kini boleh entah siapa di rimba belantara publikasi. Entah siapa itu terkadang dipercayai. Sebagai contoh, saya pernah mendengar seorang akademisi mengatakan bahwa antara buku ajar dan bahan ajar itu berbeda. Buku ajar tidak dapat diperbarui, sedangkan bahan ajar dapat diperbarui.
Kali lain saya mendengar juga pendapat bahwa cara praktis membuat indeks adalah memindahkan istilah di glosarium menjadi indeks. Itu sudah cukup.Â
Seperti kata Tom Nichols bahwa realitas matinya kepakaran bukan hanya disebabkan munculnya para penganut teori konspirasi, orang awam yang sok tahu, dan pesohor keblinger, melainkan juga datang dari kampus sendiri.Â
(Bambang Trim, praktisi di industri perbukuan dengan pengalaman lebih dari 25 tahun. Ia kini mengajar di Prodi Penerbitan, Politeknik Media Kreatif [Polimedia]. Selain itu, ia menjadi direktur dan asesor kompetensi di LSP Penulis & Editor Profesional. Bambang Trim menamatkan studi pendidikan tinggi di D-3 Editing Unpad dan S-1 Sastra Indonesia Unpad. Kini ia menempuh pendidikan S-2 di Prodi Komunikasi Korporat, Universitas Paramadina. Bambang Trim juga menjadi konsultan/narasumber di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek dan Badan Bahasa)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H