Salah satu hal semu itu bahwa terjadi peningkatan signifikan penulisan buku pada masa Covid-19, terlihat dari data ISBN Perpusnas yang menaik. Namun, di satu sisi riset Ikapi menunjukkan penjualan buku secara drastis menurun pada masa Covid-19 di Indonesia.Â
Ada berkah tersembunyi yang dialami beberapa negara di dunia ketika pemerintahnya memberlakukan lockdown. Masyarakatnya mencari inspirasi dan pengetahuan lewat membaca buku. Di Inggris terjadi peningkatan penjualan novel tiga kali lipat. Di AS terjadi peningkatan 66% penjualan buku anak nonfiksi.
Arys Hilman, Ketua Ikapi, menyindir keadaan di Indonesia sebagai anomali "di rumah saja tanpa buku". Di Indonesia, pasar perbukuan justru mengalami kemerosotan tajam ketika pandemi Covid-19 hadir. Mayoritas penerbit (58,2%) mengalami penurunan penjualan lebih dari 50%. Sebanyak 29,6% penerbit mengalami anjlok 31-50%, sebanyak 8,2% penerbit mengalami penurunan 10-30%, dan 4,1% penerbit mengaku tidak terganggu oleh pandemi (Ikapi, 2020).
Lalu, siapa yang membaca buku yang telah terbit seratusan ribu judul buku itu di Indonesia? Bolehlah dianggap bahwa pemasaran buku telah mengalami disrupsi dan dilakukan secara bergerilya, terutama oleh para penerbit mandiri (self-publisher). Buku-buku tadi tidak diserap oleh pasar konvensional di toko buku, tetapi oleh pasar penjualan langsung.Â
Namun, masih diperlukan riset mendalam tentang hal ini yakni ke mana larinya seratusan ribu judul buku itu? Apakah benar-benar diterbitkan atau tidak? Apakah benar-benar laku atau tidak?
Jadi, apa yang mengkhawatirkan dari literasi "magic jar" ini adalah genjotan luar biasa untuk menulis buku, tetapi tidak untuk membaca buku. Bahkan, jangan-jangan para penuisnya juga bukan pembaca buku. Sebagaimana asumsi yang pernah saya sampaikan dahulu.
Mengapa masyarakat Indonesia enggan membaca buku? Sebab tidak ada buku yang menarik (bermutu) untuk dibaca. Mengapa tidak ada buku yang menarik (bermutu) untuk dibaca? Sebab para penulis buku itu tidak kompeten. Mengapa penulis buku itu tidak kompeten? Sebab tidak pernah dibina oleh negara. Mengapa negara tidak membina para penulis buku itu? Sebab tidak ada regulasi untuk itu.
Kini regulasi itu sudah ada setingkat UU dan PP serta dalam proses pengesahan adalah Permendikbudristek, bahkan Pusat Perbukuan juga sudah dieksiskan di Kemendikbudristek. Maka dari itu, pembinaan terhadap pelaku perbukuan memerlukan campur tangan pemerintah dan masyarakat yang peduli terhadap literasi.Â
Dengan demikian, tidak akan muncul lagi pelatihan menulis buku dalam waktu 1 menit, 1 jam, dan 1 hari yang makin menyiratkan kesemuan literasi di negeri ini. Orang tergerak beramai-ramai menulis buku dengan cara apa pun. Namun, buku-buku itu sudah kehilangan pembacanya sedari awal karena dibuat dengan terobosan "magic jar". Buku ramai diterbitkan, tetapi tidak ramai dibaca karena dibuat seperti menanak nasi. Satu jam jadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H