Gairah menulis, terutama menulis buku yang dapat menimbulkan prestise tersendiri inilah yang dibaca oleh para petualang di dunia literasi. Mereka menebarkan benih-benih keliterasian lewat cara-cara instan yang tentu saja ditentang habis oleh sebagian besar para penulis yang lahir dari rahim proses bertahun-tahun menulis. Para petualang literasi memanfaatkan sisi keawaman banyak orang tentang menulis buku yang baik dan benar. Buku adalah buku, tidak perlu dipersulit dengan standar dan kaidah yang baku.
Namun, Â bagi saya yang mendalami ilmu penerbitan secara akademis, hal ini berbeda. Saya bersama tim di Pusat Perbukuan (Kemendikbudristek) memperjuangkan adanya standar dan kaidah baku ini masuk ke dalam Undang-Undang (UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan), Peraturan Pemerintah (PP Nomor 75/2019), dan draf Permendikbud karena saya terlibat di dalamnya di Komisi X DRP-RI serta di Kemendikbud.Â
Bagi mereka yang berpandangan pragmatis, standar dan kaidah ini berpotensi menghambat kreativitas. Namun, saya dapat menyatakan bahwa ukuran kebermutuan sebuah buku tidak dapat dilepaskan dari adanya standar, kaidah, bahkan kode etik dalam menggagas dan menciptakannya.
Saya pun memperjuangkan adanya sertifikasi bagi penulis buku nonfiksi dan editor buku, setidaknya mencegah para petualang literasi yang mengaku-aku sebagai penulis buku atau editor buku melenggang begitu saja. Walaupun begitu, banyak juga yang menentang gagasan saya melakukan sertifikasi penulis dan editor.Â
Namun, SKKK Penulis dan Editor tetap terwujud dan LSP Penulis dan Editor Profesional berdiri. Sejak April 2019 hingga November 2021, LSP PEP telah menyertifikasi lebih dari 6.000 orang penulis dan editor di berbagai daerah di Indonesia.
Jika menulis buku dibebaskan begitu saja, munculnya para penulis buku yang merasa sudah menulis buku tidak akan dapat dibendung. Mereka tidak akan peduli apakah yang mereka tulis itu benar-benar buku, yang penting ber-ISBN dan diterbitkan oleh penerbit meskipun itu penerbit abal-abal. Mereka tidak peduli dengan proses editorial (penyuntingan) dan segi-segi estetis serta keterbacaan dalam penyajian buku.
Sebagai dosen di Program Studi Penerbitan, Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia), saya juga menekankan standar, kaidah, dan kode etik ini kepada mahasiswa saya. Mereka boleh kelak menciptakan cara-cara baru, termasuk secara nakal dan kreatif "melanggar" standar dan kaidah.Â
Namun, mereka harus mampu memberikan argumentasi serta harus paham dulu asas-asas menulis buku dan menerbitkan buku sebagai sebuah konvensi atau konsensus internasional. Tanpa kepahaman ini, mereka akan menjadi generasi magic jar yang mendewa-dewakan cara instan menghasilkan buku.
Fenomena Literasi "Magic Jar"
Literasi "Magic Jar" yakni kemampuan menulis dan membaca yang diperoleh secara instan memang perlu disambit alih-alih disambut. Ia bukanlah sebuah terobosan, melainkan sebuah kamuflase yang justru membuat daya literasi kita makin terpuruk dengan keyakinan semu bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang literat.Â
Apa buktinya? Buktinya produksi buku kita meningkat dari tahun ke tahun hingga seratusan ribu judul. Namun, jangan-jangan sebagian besar adalah buku tidak bermutu.