Tahun 2000 pula saya menjadi juara pertama Lomba Penulisan Buku Cerita Keagamaan untuk Jenjang SD yang diselenggarakan Kementerian Agama dengan juri waktu itu Ibu Titie Said. Pada tahun yang sama menjelang milenium ketiga itu saya juga mendapat penghargaan juara I Lomba Penulisan Artikel Perbukuan dalam rangka 50 Tahun Ikapi.
Dengan asumsi "tidak ada satu bidang pun di dunia ini dapat lepas dari tulis-menulis" maka saya coba mengepakkan sayap kebinekaan dalam tulis-menulis ke berbagai ragam penulisan: sastra, ilmiah (termasuk pendidikan), jurnalistik, bisnis, religi, dan hukum. Saya menjadi generalis meskipun terlambat masuk ke dunia tulis-menulis.
Generalis di dunia tulis-menulis itu dapat Anda lakoni karena beberapa hal. Pertama, Anda tidak berlatar belakang pendidikan bahasa, sastra, atau ilmu komunikasi, tetapi Anda tertarik menulis sehingga tulisan Anda justru lebih "berwarna".Â
Kedua, Anda mencoba tidak hanya menulis fiksi, tetapi juga menulis nonfiksi. Anda tidak hanya dikenal sebagai sastrawan, tetapi juga akademisi dan peneliti yang piawai menyusun makalah atau monografi.
Ketiga, Anda tidak hanya menulis artikel untuk media massa atau menulis buku untuk dipublikasikan penerbit, tetapi Anda juga menulis untuk dunia bisnis, dunia ilmiah, dan dunia pendidikan seperti bahan ajar. Anda menjadikan tulisan sebagai komoditas.
Jadi, tidaklah masalah ketika seseorang baru sadar untuk menulis dalam usia sudah tidak lagi muda. Banyak yang ingin dilatih menulis pada usia melewati paruh baya. Apakah mungkin dilakukan? Saya menjawabnya mungkin. Sekian!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H