Sosok Izzati mengingatkan saya pada Yanusa Nugroho. Sastrawan senior ini dulu saya kenal semasa kuliah lewat cerpen-cerpennya. Mas Yanusa kemudian merambah karier menjadi penulis teks iklan (copywriter). Itu sebabnya beliau juga menjadi dosen Penulisan Persuasif/Iklan di Program D-3 Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
Sebagai penambah contoh dari jalur spesialis ini perlu saya singgung tentang Abdurahman Faiz, gen Y kelahiran tahun 1995. Ia adalah putra Helvy Tiana Rosa yang dikenal sebagai sastrawan. Faiz menempa diri atau ditempa menjadi seorang sastrawan cilik.
Ia mendapat perhatian ketika menjadi juara I Lomba Menulis Surat untuk Presiden yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2003. Beruntun kemudian Faiz mendapatkan berbagai penghargaan menulis tingkat nasional di ragam puisi. Ia juga menulis naskah drama "Brani" yang lagi-lagi menjadi juara dalam Sayembara Menulis Naskah Drama oleh Federasi Teater Indonesia tahun 2011.Â
Kiprah Faiz di dunia tulis-menulis belum terdeteksi lagi ketika saya meramban internet. Entah ia tetap berada di jalur menulis atau sudah berpindah jalur.
Lain cerita dengan Dewi Lestari atau Dee Lestari. Ia awalnya lebih dikenal publik lewat karier bermusiknya di trio RSD (Rida-Sita-Dewi). Publik baru "terkejut" mengetahui Dee bahwa ternyata penulis juga ketika ia meluncurkan novel Supernova. Novel bergenre fiksi sains ini begitu fenomenal.
Sebenarnya Dee sudah mulai menulis sejak remaja. Dee yang kelahiran 1976 ini pernah menjadi juara pertama penulisan cerpen tahun 1993 di majalah Gadis. Tahun 1996 ia menulis cerbung di majalah Mode berjudul "Rico the Coro". Baru tahun 2001 ia menerbitkan novel perdananya Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh.
Dee mewakili sosok generalis meskipun ia masih berada dalam satu bidang seni sebagai penyanyi dan sebagai penulis. Latar belakang pendidikan tingginya di Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Parahyangan jelas kurang nyambung.
Ketika ia menulis buku Rantai Tak Putus: Ilmu Mumpuni Merawat UMKM Indonesia kepak sayapnya mulai merambah ke ranah nonfiksi. Ya, apa salahnya penulis fiksi novel juga menulis nonfiksi. Dee menulis nonfiksi dengan gaya pengisahan fiksi.
Kepak Sayap Kebinekaan
Baliho Mbak Puan yang menghiasi jalan-jalan di seantero negeri itu dipersoalkan diksinya: Kepak Sayap Kebhinnekaan. KBBI telah membakukan kata 'bhinneka' yang ada di pita kaki burung Garuda Pancasila menjadi 'bineka' yang bermakna beragam atau beraneka ragam. Dulu saat SD susah payah betul saya mengingat bagaimana menuliskan bhinneka tunggal ika itu.
Saya sih meminjam saja frasa kepak sayak kebinekaan ini untuk membahas soal penulis generalis. Tidak ada urusan dengan politik dan diksi. Ya, kalau mau dipermasalahkan, berbahasa Indonesia yang baik dan benar itu sering menjadi jargon semata bagi politikus.
Okelah kalau begitu. Kepak sayap kebinekaan, hmm ....