Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pelik-pelik Swaplagiat

17 Januari 2021   10:37 Diperbarui: 17 Januari 2021   13:25 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu swaplagiat? Swaplagiat yang diistilahkan dalam bahasa Inggris self-plagiarism atau autoplagiat adalah tindakan menjiplak tulisan sendiri secara sama atau dimodifikasi (salami publishing), lalu memublikasikannya di media yang berbeda, baik dalam dalam waktu bersamaan maupun berjarak waktu---dengan catatan si penulis tidak menyebutkan bahwa karya tersebut sudah dipublikasikan di media lain. Tindakan ini dianggap melanggar etika dalam publikasi atau masuk kategori kecurangan (fraud).

Mengapa seseorang melakukan swaplagiat? Di luar persoalan ketidaksengajaan, ketidaktahuan, atau khilaf, umumnya pelaku swaplagiat bermaksud menimbulkan keuntungan bagi diri sendiri, misalnya mendapatkan dua kali imbalan dari media yang berbeda atau mendapatkan angka kredit kenaikan pangkat karena enggan bersusah payah lagi melakukan penelitian baru.

Swaplagiat terjadi di area penulisan populer seperti artikel di media massa dan buku serta juga paling sering terjadi di area penulisan akademis. Di area penulisan populer kepentingannya sering kali soal materi dengan menganggap media yang lain tidak akan mengetahui pemuatan ganda.
Ada juga yang mengaku tidak sengaja mengirimkan artikel sekaligus ke beberapa media yang berbeda. Apa pun alasannya, tindakan ini tetap dianggap sebuah kecurangan.

Di area penulisan akademis, pemuatan artikel ganda ini lebih dimaksudkan mendapatkan keuntungan angka kredit. Ada yang mengatur jarak penerbitan yang lama sehingga dianggap tidak akan diketahui, kemudian "mendaur ulang" artikel tersebut. Namun, aplikasi semacam Turnitin tentu mudah sekali mendeteksi kemiripan ini dengan syarat artikel tersebut sudah dimuat di media lain dan tersimpan sebagai dokumentasi digital yang terlacak.

Terkadang pemuatan artikel ganda yang disebut swaplagiat itu terlacak bukan karena kecanggihan aplikasi pendeteksi kesamaan teks (similarity) dan plagiarisme, melainkan karena ketajaman ingatan dari seorang pembaca. Ada saja kasus-kasus plagiat yang dibongkar oleh pembaca sendiri.

Tentang Dugaan Swaplagiat Rektor USU Terpilih

Terkait dengan kasus dugaan swaplagiat yang menimpa Rektor USU terpilih, pihak Dikti Kemendikbud angkat bicara. Prof. Nizam (Dirjen Dikti) menyatakan swaplagiat masih menjadi perdebatan di dalam dunia internasional. Di dalam regulasi Kemendikbud, swaplagiat ini belum jelas, baik secara definisi, bentuk pelanggaran, dan mekanisme pemberian sanksinya.

Agak khusus kasus yang menimpa Rektor USU terpilih, Muryanto, itu adalah karya dalam bahasa Indonesia yang kemudian diterbitkan lagi dalam bahasa Inggris di jurnal Man in India berjudul "A New Patronage Network of Pemuda Pancasila in Governor Election of North Sumatera".

Di sini pertama bakal terjadi perdebatan apakah penerjemahan karya termasuk pada ranah swaplagiat? Jonner Hasugian (dosen Ilmu Perpustakaan USU), ketua tim khusus penelusuran dugaan plagiat sebagaimana termuat di Kumparan (22 Desesember 2020) menyatakan hal berikut.

"Self-plagiarism adalah perbuatan pendaurulangan karya, memecah topik dalam beberapa tulisan, publikasi ganda pada lebih dari satu media atau jurnal. Misalnya, seseorang yang menerbitkan satu karya ilmiah berbahasa Indonesia di jurnal A. Selang beberapa tahun kemudian, dia menerbitkan karya ilmiah yang sama tapi diubah ke bahasa Inggris dan diajukan dimuat di jurnal B. Pun dia menerbitkan karya ilmiah yang sama menggunakan bahasa Inggris atau Indonesia di jurnal berbeda."

Fokus Jonner memang bukan pada pengalihbahasaannya, melainkan pada satu karya yang sama dimuat di dua jurnal yang berbeda, tidak peduli jurnal itu adalah jurnal nasional atau internasional dan tidak peduli ada dalam dua bahasa. Konteks ini dapat dipahami walaupun juga berpeluang diperdebatkan.

Swaplagiat sebenarnya menjadi tidak terbukti apabila di dalam pemuatan artikel tersebut disampaikan bahwa artikel telah terbit sebelumnya dalam bahasa Indonesia. Kebijakan medialah yang memutuskan akan memuat atau menolak artikel tersebut. Jadi, jurnal Man in India itu dapat saja menerima artikel Rektor USU terpilih tersebut dengan menganggapnya bukan karya swaplagiat. 

Sekali lagi, hal ini memang bakal menjadi perdebatan. Apa lagi kejadiannya sudah lama yakni tahun 2017 dan baru dipermasalahkan tahun 2020 dengan tendensi kepada Rektor USU terpilih. Walaupun demikian, Muryanto tentu dapat membela diri jika memang tidak terbukti melakukan swaplagiat sebagaimana dituduhkan.

Jurnal ilmiah biasanya memiliki mekanisme terhadap indikasi swaplagiat atau penerbitan salami. Jurnal secara tegas dapat menolak karya yang sudah dipublikasikan di jurnal lain. Apabila sudah terjadi, jurnal dapat mengambil tindakan kepada penulis. 

Penulis yang melakukannya akan didaftarhitamkan jurnal tersebut. Dalam hal ini sanksi yang berlaku umumnya sepihak dari media dan juga sanksi sosial dari sesama penulis atau peneliti yang melunturkan kredibilitas penulis.

Pelanggaran Etika dalam Swaplagiat

Swaplagiat memang bukan tindakan yang dibolehkan walaupun secara tingkatan ia tidaklah lebih buruk daripada memplagiat tulisan orang lain. Memang tidak ada yang secara langsung dirugikan, kecuali media pemuat ulangnya---ada juga anggapan si penulis merugikan dirinya sendiri.

Apabila si penulis terikat pada satu institusi, boleh jadi institusi tersebut juga mengalami kerugian, sebut saja soal citra institusi atau imbalan yang telanjur diberikan oleh institusi. Namun, institusi juga harus terbuka dan adil dalam menerapkan sanksi seperti swaplagiat. Artinya, semua karya tulis dan penulis di institusi itu harus diselidiki apakah benar-benar murni tidak melakukan swaplagiat, termasuk dengan cara "memutilasi" karya untuk diterbitkan ulang per bagian (salami publishing).

Dari hal tersebut batasan tentang swaplagiat menjadi penting sehingga memerlukan dasar hukum untuk mengatur sanksi terhadap pelaku swaplagiat. Lebih jauh lagi, yang perlu ditindak keras adalah plagiator karya orang lain karena ini lebih tidak beretika.

Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi masih mendefinisikan plagiat sebagai penggunaan ciptaan 'pihak lain', bukan 'diri sendiri'. Jadi, ini yang diungkapkan oleh Dikti bahwa Permendiknas tersebut belum secara jelas mengatur soal swaplagiat. Namun, Pedoman Publikasi Ilmiah Dikti 2017 menjelaskan uraian lebih detail (hlm. 133) sebagai berikut:

Peneliti menyebarkan informasi tertulis dari hasil penelitiannya berupa informasi mengenai pendalaman pemahaman ilmiah dan/atau pengetahuan baru yang terungkap dan diperolehnya, yang disampaikan ke dunia ilmu pengetahuan pertama kali dan hanya sekali, tanpa mengenal publikasi duplikasi atau berganda atau diulang-ulang. 

Plagiat sebagai bentuk pencurian hasil pemikiran, data, atau temuan-temuan, termasuk yang belum dipublikasikan, perlu ditangkal secara lugas. Plagiarisme secara singkat didefinisikan sebagai "mengambil gagasan, atau kata-kata tertulis dari seseorang, tanpa pengakuan pengambilalihan dan dengan niat menjadikannya sebagai bagian dari karya keilmuan yang mengambil". 

Dari rumusan ini, plagiat dapat juga terjadi dengan mengutip tulisan peneliti sendiri (tulisan terdahulunya) tanpa mengikuti format merujuk yang baku sehingga dapat saja terjadi self-plagiarism atau auto-plagiarism. Informasi atau pengetahuan ilmiah baru yang diperoleh dari suatu penelitian jelas menambah khazanah ilmu pengetahuan melalui publikasi. 

Oleh karenanya, tanpa tambahan informasi atau pengetahuan ilmiah baru, suatu karya tulis hanya dapat dipublikasikan "pertama kali dan sekali itu saja". Selanjutnya, sebagai bagian dari upaya memajukan ilmu pengetahuan, karya tulis ilmiah ini dapat dijadikan rujukan untuk membangun-lanjut pemahaman yang awal itu.

Selain Permendiknas, ada rujukan lain soal etika publikasi ilmiah yakni Perka LIPI Nomor 15 tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah dan Pedoman Publikasi Ilmiah. Perka LIPI ini berlaku di lingkungan LIPI sendiri serta Kementrian/Lembaga Pemerintah, terutama bagi fungsional, seperti peneliti, perekayasa, dan perencana. Hal ini dapat terlihat dari rujukan Perka yang tidak menggunakan UU Sisdiknas dan UU tentang Guru dan Dosen.

Sewaktu dikti dan ristek masih digabung (Kemenristekdikti) tetap ada "dikotomi" bahwa PTN/PTS merujuk ke Dikti dalam soal aturan publikasi ilmiah, sedangkan Kementerian/Lembaga merujuk ke LIPI. Jika membandingkan pedoman publikasi ilmiah versi Dikti dan versi LIPI, terdapat beberapa kesamaan, bahkan pedoman Dikti cenderung juga menggunakan rujukan LIPI.

Sekarang kedua lembaga itu sudah terpisah lagi, Dikti di bawah Kemendikbud, sedangkan LIPI di bawah Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional.

Kalau dibandingkan karya tulis ilmiah dosen dan peneliti (nondosen) itu tentu sama saja. Dasar hukum terkait plagiat seharusnya juga sama materinya, baik Dikti Kemendikbud maupun LIPI Kemenristek/BRIN. Dalam hal ini baik Dikti maupun LIPI dapat mengacu pada Kode Etika Publikasi Ilmiah yang bersumber pada Committee on Publication Ethics (COPE) dengan menjunjung tinggi tiga nilai etik berikut ini.

  1. Kenetralan yakni bebas dari pertentangan kepentingan dalam pengelolaan publikasi.
  2. Keadilan yakni memberikan hak kepengarangan kepada yang berhak sebagai pengarang.
  3. Kejujuran yakni bebas dari duplikasi, fabrikasi, falsifikasi, dan plagiarisme dalam publikasi.

Apakah swaplagiat harus dilarang? Jawaban ya karena termasuk pelanggaran etika publikasi ilmiah. Karena itu, aspek swaplagiat harus diatur di dalam regulasi, termasuk menyangkut guru dan dosen serta publikasi ilmiah. Sering kali kelemahan kita dalam soal aturan ini tidak detail, tidak jelas, dan cenderung membingungkan. Maka dari itu, batasan-batasan itu harus benar-benar jelas batasnya.

***

Sebagai editor di penerbit, saya pernah juga mengalami hal ini. Penerbit tempat saya bekerja tidak mengetahui penulisnya melakukan swaplagiat. Saya menemukan secara tidak sengaja buku lain yang ditulis si penulis dalam bentuk kumpulan artikel (republishig article). Hanya judul buku itu yang diubah, isinya sama.

Tindakan yang dilakukan penerbit adalah mengklarifikasi dan meminta pertanggungjawaban penulis soal karya yang sama dengan pembaca sasaran (pasar) yang sama sehingga karya buku itu akan saling menjadi kanibal. Jika terbukti, penerbit meminta penulis membatalkan buku yang diterbitkan di penerbit lain dan menarik buku tersebut. Selain itu, penerbit menghubungi penerbit lain yang menerbitkan karya tersebut sebagai klarifikasi dan informasi.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun