Sejak dulu buku ya seperti itu. Ia memiliki kover dengan kertas lebih tebal daripada kertas isi dan memiliki tiga bagian standar: bagian pendahulu, bagian isi, serta bagian penyudah. Bahkan, UNESCO pun pernah menetapkan kriteria benda yang disebut buku, yaitu publikasi tidak berkala, memiliki kover yang tebal (lebih tebal daripada isi), tebalnya lebih dari 49 halaman, diterbitkan di suatu negara, dan tersedia untuk publik paling tidak 50 eksemplar.
Bentuk buku saja kini yang berkembang menjadi buku elektronik. Bahkan, dengan fitur realitas tertambah serta mulai dibenamkan pula kecerdasan buatan membuat buku elektronik semakin hebring di jagat daring. Alhasil, yang disebut profesi pengembang buku elektronik itu bukan sekadar orang yang memahami teknologi informasi, melainkan juga orang yang memahami konten. Ya, konten.
Hal sangat dinamis berkembang pada buku sejatinya adalah konten. Apa Saudara sekalian? Ya, konten!
Konten berkembang seiring dengan berjalan, berlari, dan meloncatnya ilmu pengetahuan manusia. Seseorang yang lamban, mandek, atau ogah-ogahan mengisi kapasitas dirinya maka ia pun kesulitan memahami konten untuk masa kini, apalagi masa depan. Ibaratnya orang sedang hangat membincangkan benih lobster untuk dicegah ekspornya, ia masih berkutat malas pada benih-benih rindu. Hehehe.
***
Nah, kita dapat menilai buku dari tiga aspek, yaitu daya gugah, daya ubah, dan daya pikat. Daya gugah sangat terkait dengan konten. Daya ubah sangat terkait dengan efek yang ditimbulkan konten. Adapun daya pikat sangat terkait dengan kemasan konten. Secara teknis aspek itu dalam penilaian buku diindikasikan melalui materi, penyajian, bahasa, desain dan grafika, serta legalitas dan norma.
Lalu, buku yang promasa depan itu buku seperti apa Bosque?
Buku yang serius menggarap konten dari sebuah isu yang sedang diperlukan oleh masyarakat---pada masa kini dan masa yang akan datang. Apalagi, pada masyarakat yang telah berubah, masyarakat yang tidak lagi sama pasca-COVID-19.
Bagaimana dengan buku-buku sejarah? Itu kan masa lalu? Buku sejarah yang berpotensi mengubah pandangan kita pada masa lalu menjadi lebih lurus pada masa kini berarti ia promasa depan.
Kelemahan utama buku-buku kita adalah kemandekan dari segi konten, baik itu tema, topik, dan tentu saja isinya. Banyak buku yang membahas soal itu-itu saja tanpa ada pembaruan pemikiran yang dibenamkan penulisnya. Itulah buku yang sia-sia membuang energi penulisnya dan membuang waktu pembacanya. Efek yang ditimbulkannya hanya penjualan.
Buku yang mandek dari segi konten ini jelas tidak membangkitkan daya gugah, daya ubah, dan tentu saja daya pikat. Mereka yang sudi membacanya juga mungkin karena memang tidak beranjak pengetahuan dan pemahamannya tentang konten.
Ibarat rusa masuk kampung atau lobster masuk kontainer, ia terheran-heran dan terkagum-kagum dengan sebuah buku yang sebenarnya biasa saja. Sebab apa? Sebab ia tidak pernah punya pengalaman membaca buku yang lebih baik dan lebih promasa depan.
Sama kok, saya juga pernah begitu. Terus insaf dan mencari buku-buku yang lebih baik kontennya untuk dibaca dan dihayati tanpa lelah. Sebagai penulis, saya tertantang selalu untuk menulis dengan konten yang lebih kaya, bukan sebagai epigon buku lain atau menulis sesuatu yang biasa-biasa saja karena tak punya harta dan tak punya bunga.
***
Saya baca di Detik.com berita tentang buku. Totok Suprayitno, Plt. Kabalitbang dan Perbukuan Kemendikbud mengisi sebuah sesi pada Munas ke-19 Ikapi. Beliau menyampaikan begini: ''Harus ada reformasi besar-besaran (pada buku) supaya cocok dengan kebutuhan pembelajaran di masa depan."
Pandangan itu sangat terkait dengan buku pendidikan, buku teks maupun buku nonteks. Apakah konten buku-buku pendidikan kita tidak berlari dan melompat sejauh ini? Apakah konten buku pendidikan kita tidak memberikan perspektif tentang perbedaan antara Maradona dan Madonna? Ini pertanyaan ngawur, Saudara.
Jika buku itu diibaratkan tanaman, cabut saja dan lihat akar-akarnya. Mengapa buku-buku pendidikan kita sebagian besar tidak promasa depan?
Salah satu cabang akar itu mungkin kurikulum, mungkin persepsi terhadap kurikulum, mungkin juga kompetensi pelaku perbukuan, mungkin kelambanan pemerintah merespons persoalan perbukuan selama ini, mungkin oportunisme segelintir pelaku perbukuan, dan mungkinkah kita 'kan selalu bersama meski terbentang jarak antara kita.
Satu peluru hanya mampu menembus satu kepala, tetapi satu buku mampu menembus jutaan kepala. Begitu kata orang bijak.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H