Siswa I: (Sejenak berpikir sambil bernyany). Hijau, kuning, kelabu, merah muda, dan biru.
Siswa II: (Memutuskan tidak menjawab)
Siswa III: Violet, oranye, toska, cokelat, hitam.
Sang guru tersenyum melihat jawaban para muridnya. Ia membenarkan semua jawaban, kemudian bertanya.
"Jawaban kalian semua berbeda. Tapi, semua benar. Sekarang, coba jelaskan mengapa kamu menjawab seperti itu!"
Siswa I: "Saya pikir versi terbaru lagu Balonku itu jebakan karena tidak ada versi terbaru liriknya. Yang ada versi terbaru aransemennya."
Siswa II: "Saya pikir soal yang Bapak berikan itu keliru karena tidak ada lagu Balonku versi terbaru. Jadi, saya tidak jawab. Soal keliru pasti dianggap benar."
Siswa III: "Versi terbaru lagu Balonku itu baru saja saya buat, Pak. Jadi, warnanya gimana saya."
***
Bagaimana? Apakah Anda akan menyetujui sikap guru yang membenarkan jawaban para muridnya ataukah Anda tetap akan memilih jawaban yang paling benar menurut Anda? Kemerdekaan menjawab dengan argumentasi yang jelas itulah yang menurut saya buah dari merdeka belajar.
Jika berhasil, memang akan menghasilkan siswa atau murid dengan kecakapan Abad 21, yaitu mahir berpikir kritis, mahir berkomunikasi, mahir berkolaborasi, dan mahir berpikir kreatif. Sebaliknya, memberikan soal-soal kepada mereka dengan jawaban tertutup yang sebenarnya masih mungkin diperdebatkan hanya akan menyempitkan kemampuan berpikir mereka, apalagi pada masa anak-anak.