Balai Pustaka adalah jenama yang sudah melekat erat di benak masyarakat Indonesia, terutama generasi terdahulu sebagai penerbit buku-buku sastra klasik---dan beberapanya dikategorikan sebagai kanon sastra. Judul buku, seperti Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, atau Layar Terkembang telah akrab di telinga sebagai bacaan wajib tempo dulu.
Namun, dalam beberapa dekade ke belakang, sastra klasik tak lagi menjadi bacaan wajib. Keberadaan beberapa yang disebut kanon sastra menjadi dipertanyakan ketika sekolah tak lagi menjadi ruang yang merdeka untuk membaca dan mendiskusikannya.
Balai Pustaka (BP) sendiri kini sebagai BUMN memang tampak "kepayahan" untuk bertumbuh kembang sebagai penerbit. Terbaru BP menempuh upaya penerbitan bersama (co-publishing) dengan salah satu penerbit Kelompok Kompas Gramedia.
Kekayaan utama BP kini adalah kepemilikan hak ekonomi terhadap buku-buku sastra klasik yang memang belum dialihkan oleh ahli warisnya. Kita mafhum bahwa sebagian besar penulis Balai Pustaka yang merupakan sastrawan terdahulu sudah meninggal dunia,.
Hanya sebagian kecil buku-buku sastra klasik itu yang sudah menjadi domain publik dengan mengacu pada UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.Â
Suatu karya menjadi domain publik ketika penulis/pengarangnya sudah meninggal dunia selama 70 tahun. Karya puisi Chairil Anwar termasuk sudah menjadi domain publik pada 1 Januari 2020 ini.
Pembaruan dan penyesuaian sastra klasik tersebut sebagai bacaan siswa di sekolah tampaknya perlu dilakukan. Hal inilah yang mengemuka dalam rapat pleno Penilaian Buku Nonteks Pelajaran di Pusat Perbukuan bulan Desember 2019 lalu.
Beberapa penilai yang umumnya para akademisi dari Jurusan Sastra malah menyatakan beberapa novel klasik tersebut---umumnya terbitan Balai Pustaka---dinyatakan tidak layak sebagai bahan bacaan pendidikan.Â
Mengapa? Pertimbangannya soal kepatutan karena beberapa peristiwa dan dialog di dalam buku dianggap kurang patut.
Ada benarnya jika penilai beranggapan demikian. Namun, karya sastra sendiri tidak dapat dilepaskan dari konteks apa, siapa, kapan, di mana, bagaimana, dan mengapa sebuah peristiwa atau dialog terjadi. Dialog seorang pria hidung belang di kompleks pelacuran pastilah bernada cabul.
Contoh kasus yang sempat dipermasalahkan adalah novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja. Novel ini termasuk novel penting pada zamannya dan sarat pemikiran. Apakah novel ini malah mendorong seseorang menjadi atheis? Tentu tidak demikian memaknainya.
Maka dari itu, apakah novel Atheis itu patut sebagai bacaan anak SMA? Mungkin penilai menyatakan tidak patut dengan alasan-alasan tertentu. Namun, panitia dengan mempertimbangkan karya itu sebagai karya sastra penting dan bacaan yang dapat mengayakan pemikiran siswa SMA maka dianggap layak.
Ketidakpatutan ini bahkan diakui sendiri oleh Mas Zaim Uchrowi, mantan Dirut Balai Pustaka, bahwa beberapa karya satra klasik atau kanon sastra memang harus disesuaikan sebagai bacaan wajib siswa.
Sebagian besar karya sastra klasik tersebut sejatinya ditujukan untuk pembaca dewasa. Dengan kata lain, yang dapat membacanya paling tidak siswa SMA kelas XII.
Adapun anak SMP dan SD diperkirakan tidak dapat membaca semua sastra klasik atau kanon sastra, kecuali dilakukan penggubahan atau penyesuaian.
Hal ini mengacu juga pada karya sastra klasik di Barat, sebut saja karya-karya Shakespeare yang mengalami penyesuaian dan penceritaan ulang untuk pembaca anak-anak dan pembaca remaja.
Untuk karya-karya yang termasuk domain publik akan lebih mudah melakukan penyesuaian (adaptasi) dan penceritaan ulang. Adapun untuk karya-karya yang hak ciptanya masih dimiliki ahli waris, tentu harus mendapatkan persetujuan dari ahli waris.
Jika ditanya kepentingan mengenalkan sastra klasik, apalagi yang tergolong kanon sastra (sastra adiluhung), tentu saja jawabannya sangat penting. Namun, sebagai bacaan masa lalu dan adanya muatan konten dewasa maka diperlukan penyesuaian dan penceritaan ulang oleh para pengarang yang berkompeten pula di bidang sastra.
Balai Pustaka misalnya, dapat menunjuk tim kerja khusus untuk melakukan penyesuaian ini yang terdiri atas sastrawan dan ahli sastra. Tentu ini merupakan kerja besar dan bagian dari penguatan daya literasi bangsa dengan "mengawetkan" karya-karya sastra klasik agar tetap hidup sepanjang zaman---tidak sebagai fosil yang hanya dapat dikenang.
Lembaga perbukuan yang dibentuk Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan menjadikan bacaan sastra klasik dan kanon sastra sebagai bacaan wajib sesuai dengan perjenjangan buku. Jadi, sangat mungkin ada buku Sitti Nurbaya versi SMP dan versi SMA.
Dengan demikian, nama-nama, seperti Marah Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana, Achdiat K. Mihardja, Aman Datuk Madjoindo, Hamka, bahkan Pramoedya Ananta Toer bakal terus dikenal, dikenang, dan dikagumi lewat karya mereka. Â
Memang untuk hal ini diperlukan kemauan dan kemampuan menjadikan sastra sebagai bagian strategi penguatan karakter bangsa sebagaimana pernah diungkapkan oleh Yudi Latif di dalam bukunya Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan.
Tahun 2020 ini dapat dijadikan momentum untuk kerja besar semacam penerbitan ulang sastra klasik atau kanon sastra. Tinggal kembali diperlukan kemauan dan kemampuan.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H