Contoh kasus yang sempat dipermasalahkan adalah novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja. Novel ini termasuk novel penting pada zamannya dan sarat pemikiran. Apakah novel ini malah mendorong seseorang menjadi atheis? Tentu tidak demikian memaknainya.
Maka dari itu, apakah novel Atheis itu patut sebagai bacaan anak SMA? Mungkin penilai menyatakan tidak patut dengan alasan-alasan tertentu. Namun, panitia dengan mempertimbangkan karya itu sebagai karya sastra penting dan bacaan yang dapat mengayakan pemikiran siswa SMA maka dianggap layak.
Ketidakpatutan ini bahkan diakui sendiri oleh Mas Zaim Uchrowi, mantan Dirut Balai Pustaka, bahwa beberapa karya satra klasik atau kanon sastra memang harus disesuaikan sebagai bacaan wajib siswa.
Sebagian besar karya sastra klasik tersebut sejatinya ditujukan untuk pembaca dewasa. Dengan kata lain, yang dapat membacanya paling tidak siswa SMA kelas XII.
Adapun anak SMP dan SD diperkirakan tidak dapat membaca semua sastra klasik atau kanon sastra, kecuali dilakukan penggubahan atau penyesuaian.
Hal ini mengacu juga pada karya sastra klasik di Barat, sebut saja karya-karya Shakespeare yang mengalami penyesuaian dan penceritaan ulang untuk pembaca anak-anak dan pembaca remaja.
Untuk karya-karya yang termasuk domain publik akan lebih mudah melakukan penyesuaian (adaptasi) dan penceritaan ulang. Adapun untuk karya-karya yang hak ciptanya masih dimiliki ahli waris, tentu harus mendapatkan persetujuan dari ahli waris.
Jika ditanya kepentingan mengenalkan sastra klasik, apalagi yang tergolong kanon sastra (sastra adiluhung), tentu saja jawabannya sangat penting. Namun, sebagai bacaan masa lalu dan adanya muatan konten dewasa maka diperlukan penyesuaian dan penceritaan ulang oleh para pengarang yang berkompeten pula di bidang sastra.
Balai Pustaka misalnya, dapat menunjuk tim kerja khusus untuk melakukan penyesuaian ini yang terdiri atas sastrawan dan ahli sastra. Tentu ini merupakan kerja besar dan bagian dari penguatan daya literasi bangsa dengan "mengawetkan" karya-karya sastra klasik agar tetap hidup sepanjang zaman---tidak sebagai fosil yang hanya dapat dikenang.
Lembaga perbukuan yang dibentuk Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan menjadikan bacaan sastra klasik dan kanon sastra sebagai bacaan wajib sesuai dengan perjenjangan buku. Jadi, sangat mungkin ada buku Sitti Nurbaya versi SMP dan versi SMA.
Dengan demikian, nama-nama, seperti Marah Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana, Achdiat K. Mihardja, Aman Datuk Madjoindo, Hamka, bahkan Pramoedya Ananta Toer bakal terus dikenal, dikenang, dan dikagumi lewat karya mereka. Â