Mari selisik juga tanggung jawab Pemerintah pada  Pasal 36. Tertulis bahwa Pemerintah Pusat bertanggung jawab:
- menjamin terselenggaranya Sistem Perbukuan melalui ekosistem perbukuan yang sehat agar tersedia Buku Bermutu, murah, dan merata tanpa diskriminasi; Â
- menyusun dan menjamin tersedianya buku teks utama untuk pembelajaran bagi setiap peserta didik;
- meningkatkan minat membaca dan menulis melalui pengadaan Naskah Buku yang bermutu; Â
- memfasilitasi pengembangan sistem informasi perbukuan;
- mempromosikan kebudayaan nasional Indonesia ke khasanah budaya dunia melalui Buku;
- memfasilitasi penerjemahan Buku berbahasa asing yang bermutu dan dibutuhkan dalam rangka peningkatan ilmu pengetahuan; dan
- Â memfasilitasi penerbitan buku langka dan naskah kuno yang bernilai sejarah serta mempunyai nilai penting bagi bangsa dan negara. Â
Karena itu, untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab perbukuan yang luar biasa tersebut pada Pasal 37 diamanatkan sebagai berikutÂ
"Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 dilaksanakan oleh lembaga yang dibentuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertanggung jawab kepada Menteri."
Jadi, sangat disadari bahwa wewenang dan tanggung jawab tersebut harus dilaksanakan oleh sebuah lembaga perbukuan yang langsung bertanggung jawab kepada Menteri--dalam hal ini Mendikbud. Masyarakat dan pelaku perbukuan dapat memahami begitu banyak PR yang harus diselesaikan pemerintah terkait perbukuan.
Memaklumkan PP Nomor 75/2019Â
Unsur perbukuan dalam hal ini Pusat Perbukuan di Kemendikbud bergerak cepat setelah terbitnya UU Nomor 3/2017 untuk menyusun peraturan pemerintah. Dalam tempo sekira dua tahun sejak dirancang pada pertengahan 2017, PP Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Sisbuk diteken Presiden Jokowi. Di dalam PP tersebut banyak pasal yang menyebutkan wewenang dan tugas Badan yang menyelenggarakan urusan perbukuan.Â
Idealnya memang terdapat lembaga perbukuan setingkat badan yang dipimpin oleh pejabat eselon I. Namun, sebagaimana disebutkan sebelumnya, pemerintah enggan membentuk badan baru. Boleh jadi pemerintah memandang persoalan perbukuan selama ini telah dapat diatasi dan belum ada urgensi untuk membenahinya.
Namun, di satu sisi daya literasi masyarakat kita, terutama generasi pelajar saat ini dipermasalahkan sebagaimana muncul dalam pemeringkatan PISA dan survei keliterasian lainnya. Salah satu tolok ukurnya adalah kemampuan membaca.Â
Kedekatan dengan buku menjadi salah satu perkara yang sudah dicarikan solusinya sejak masa Presiden Soeharto. Ada banyak persoalan yang membelit industri perbukuan kita yang secara garis besar dibagi dua yaitu buku pendidikan dan buku umum.
Karena itu, pemerintah sendiri telah memaklumkan PP Nomor 75/2019 tersebut sebagai "PP sapu jagat" untuk mengatasi persoalan perbukuan kita paling tidak dalam lima perkara, yaitu
- pengembangan buku pendidikan;
- penilaian buku pendidikan;
- pengawasan buku pendidikan dan buku umum;
- peningkatan kompetensi pelaku perbukuan; dan
- pengembangan sistem informasi perbukuan.
Di dalam Rancangan Peta Jalan Perbukuan, persoalan tersebut diupayakan pembenahannya secara berangsur-angsur dalam lima tahun ke depan. Satu hal yang terdapat di dalam Rancangan Peta Jalan Perbukuan Nasional tersebut adalah pengadaan buku-buku pendidikan vokasi (SMK) yang sangat kurang karena banyak penerbit yang kurang berminat menerbitkan buku SMK--dengan asumsi pasar yang kecil.Â
Karena itu, sudah selayaknya pemerintah turun tangan, apalagi dengan misi merevitalitasi SMK. Jika tidak ada penerbit yang berminat menyusun dan menerbitkan buku SMK, pemerintah yang harus menyusun dan menerbitkannya. Demikian amanat UU dan PP.