Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pelik-pelik Buku Perguruan Tinggi

8 September 2019   06:54 Diperbarui: 17 Mei 2022   16:10 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Adi Rahman/Unsplash

Jika bersua dengan para akademisi alias dosen-dosen perguruan tinggi, saya kerap menemukan pemahaman tentang buku yang simpang siur. Dalam aktivitas saya menjadi narasumber pelatihan, seminar, dan lokakarya tentang penulisan-penerbitan buku di berbagai kampus, sering ditemukan banyak kekeliruan tentang buku.

Mengapa berkembang pemahaman yang keliru? Saya hanya menduga bahwa dulu yang menyusun pedoman atau panduan publikasi ilmiah dalam bentuk buku juga kurang memahami seluk-beluk perbukuan. Kekeliruan itu lalu diturunkan dari yang senior ke junior dari tahun ke tahun.

Karya tulis di perguruan tinggi termasuk ke dalam rumpun karya tulis ilmiah (KTI). Lebih khusus ranahnya disebut penulisan akademis (academic writing). Penulisan akademis jika diturunkan lagi mengelompok menjadi

  1. tulisan didaktik (bahan ajar);
  2. tulisan kesarjanaan (skripsi, tesis, disertasi); 
  3. tulisan referensi; dan
  4. tulisan hasil penelitian (makalah, artikel ilmiah, monografi, dsb.).

Pedoman Publikasi Ilmiah 2017 yang diterbitkan oleh Direktorat Kekayaan Intelektual, Ditjen Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemenristek Dikti menggolongkan buku ke dalam empat jenis, yaitu 1) buku referensi; 2) monografi; 3) buku ajar/buku teks; 4) modul. Setiap jenis buku itu sudah dijelaskan secara gamblang.

Pedoman tersebut juga meluruskan pemahaman keliru selama ini tentang dikotomi buku ajar dan buku teks. Sebelumnya, Dikti membuat definisi yang berbeda antara buku ajar dan buku teks. Karena itu, muncul kebijakan bantuan yang disebut Insentif Buku Ajar dan Hibah Buku Teks.

Buku teks yang dimaksud adalah buku yang dikembangkan dari hasil penelitian, bukan digunakan sebagai bahan ajar primer. Namun, penamaan ini jelas keliru jika merujuk pada istilah text book dalam bahasa Inggris.

Lalu, apa itu bahan ajar dan buku ajar?

Bahan Ajar Vs Buku Ajar

Untuk memahami perbedaan antara bahan ajar dan buku ajar, saya menuliskan kalimat berikut: "Ada banyak buku akademis yang dapat dijadikan bahan ajar, tetapi tidak setiap buku akademis adalah buku ajar." 

Jadi, memang sering terkacaukan antara istilah bahan ajar dan buku ajar. Jelas sekali bahwa bahan ajar adalah materi yang dapat digunakan dalam proses pemelajaran. Materi itu ada yang merupakan materi tertulis atau bahan ajar tertulis.

Para akademisi/dosen makin bingung lagi ketika saya sampaikan bahwa ada beberapa bahan ajar tertulis, yaitu

  1. presentasi;
  2. handout;
  3. diktat (lecture notes);
  4. modul;
  5. buku ajar (text book); 
  6. buku referensi; dan
  7. buku sains/ilmiah populer (scientific/scholarly book).

Setiap jenis bahan ajar itu memiliki ciri tersendiri dan digunakan dalam konteks yang berbeda. Ada yang merupakan bahan ajar primer dan ada pula yang merupakan bahan ajar sekunder (tambahan). 

Salah satu bahan ajar primer adalah buku ajar atau sering juga disebut buku teks. Ciri kental buku teks adalah mengacu pada kurikulum/silabus yang berlaku. 

Di perguruan tinggi, silabus pemelajaran bersifat otonom sehingga yang memberlakukannya adalah otoritas perguruan tinggi tersebut. Silabus menurunkan beragam mata kuliah sesuai dengan kebutuhan sebuah program studi. 

Buku ajar merupakan representasi bahan ajar mata kuliah sehingga judulnya pun kemungkinan identik dengan nama mata kuliah. Isi buku ajar adalah penjabaran teori dan praktik sesuai dengan rencana program pemelajaran/satuan acara perkuliahan. Dengan demikian, buku ajar tidak boleh terlepas dari silabus.

Lalu, ada pertanyaan. Bolehkah monografi dijadikan buku ajar? 

Saya menjawab bahwa monografi bukan buku ajar. Namun, monografi dapat dijadikan sebagai bahan ajar yaitu bahan ajar sekunder. 

Tentang Monografi

Monografi termasuk kategori buku. Kata 'mono' yang berarti tunggal berpengaruh pada ciri monografi. Monografi berisikan satu topik (penelitian) dalam satu bidang ilmu yang didalami oleh satu orang. 

Anatomi monografi mirip dengan artikel/esai ilmiah, hanya pemaparannya lebih panjang dan mendalam karena tidak ada pembatasan halaman seperti halnya artikel/esai ilmiah. Dengan demikian, monografi ditulis karena peneliti ingin mendalami penelitiannya serta memaparkannya secara lebih lengkap.

Jika ada yang beranggapan monografi sama dengan buku ajar, tentu keliru. Namun, jika ditanyakan apakah monografi dapat menjadi bahan ajar, tentu saja dapat, apalagi jika hasil penelitian relevan dengan topik mata kuliah.

Lagi tentang Buku Referensi

Lain lagi tentang pengertian buku referensi yang juga kacau. Supaya tidak kacau, saya membuat lagi kalimat seperti ini: "Semua buku ilmiah dapat dijadikan referensi, tetapi tidak setiap buku ilmiah adalah buku referensi."

Suatu ketika seorang dosen senior menyebut buku-buku yang saya pegang sebagai buku referensi. Saya mengatakan ini bukan buku referensi, tetapi dapat dijadikan referensi (rujukan). Di dalam terminologi penerbitan, buku referensi itu sudah jelas jenisnya, yaitu

  1. kamus;
  2. tesaurus;
  3. ensiklopedia;
  4. atlas (kumpulan peta);
  5. farmakope (daftar obat);
  6. konkordansi;
  7. direktori;
  8. katalog; dan
  9. buku pintar.

Disebut buku referensi karena bersifat referensial yang dapat dijadikan rujukan secara cepat atau secara mendalam. Biasanya buku-buku referensi disusun berdasarkan abjad (alfabetis) dan ada juga berdasarkan tema (tematis).

Penulisan buku referensi jarang dilakukan secara sendiri atau oleh penulis tunggal. Umumnya dilakukan berdua atau berkelompok. 

Modul Vs Buku Ajar

Modul tergolong sebagai bahan ajar primer, tetapi modul tidak sama dengan buku ajar meskipun isinya identik dengan materi di dalam silabus (kurikulum). 

Modul disebut sebagai bahan ajar mandiri dengan keterlibatan yang minim dari dosen/guru/instruktur. Karena itu, modul biasanya digunakan dalam pemelajaran jarak jauh (distance learning) atau pemelajaran daring (online learning/course).

Ciri khas pemaparan modul terdapat pada pemaparan yang dibagi ke dalam kegiatan belajar. Satu modul sangat mungkin mengandung beberapa kegiatan belajar yang memuat teori serta praktik. Di dalam modul terdapat juga soal-soal evaluasi sekaligus kunci jawaban.

Mengapa ada kunci jawaban? Posisi modul sebagai bahan ajar mandiri memungkinkan pemelajar (orang yang belajar) mengukur dirinya sendiri. Apabila misalnya ketercapaian evaluasinya di atas 70%, ia dapat melanjutkan belajar pada modul berikutnya. 

Modul sering digunakan pada kuliah, pelatihan, atau kursus jarak jauh. Salah satu perguruan tinggi yang "setia" menggunakan modul sebagai bahan ajar adalah Universitas Terbuka.

Jadi, bahan ajar yang digunakan dosen mengajar di kelas tatap muka tidak dapat disebut modul? Sejatinya tidak, bahan ajar itu mungkin saja disebut handout, diktat, atau buku ajar.  

Tentang Konversi atau Penyaduran Buku

Sebuah hasil penelitian biasanya berwujud menjadi laporan penelitian, karya kesarjanaan (skripsi, tesis, disertasi), atau artikel ilmiah. Pertanyaannya dapatkah karya tulis tersebut dijadikan buku? Jawabnya: dapat!

Itulah yang dinamakan konversi atau penyaduran KTI nonbuku menjadi buku. Syarat penyaduran ini dilakukan oleh penulis sendiri pada karyanya sendiri.

Mengapa hal ini dibolehkan atau diizinkan? Bagaimanapun karya dalam bentuk laporan penelitian, skripsi-tesis-disertasi, dan artikel adalah karya yang publikasinya terbatas dan ditulis sangat kaku. Bahkan, banyak karya kesarjanaan yang menjadi "beku' di rak-rak kampus tanpa pernah dibaca oleh banyak orang---kecuali mahasiswa lain yang ingin menulis karya serupa tapi tak sama.

Karena itu, jika ingin karya tersebut tersebar luas, jalan publikasi yang paling relevan adalah dibukukan menjadi buku ilmiah populer. Sama halnya dengan peneliti yang mengonversi artikel/esai ilmiah menjadi monografi karena ingin memperdalam bahasan penelitiannya.

Beberapa kalangan menganggap konversi atau penyaduran ini sebagai autoplagiat. Soal ini maka perlu diselisik lebih mendalam lagi apa yang dimaksud dengan autoplagiat. Mengonversi KTI nonbuku menjadi bentuk buku bukanlah autoplagiat.

***

Pelik-pelik buku perguruan tinggi inilah yang kerap membuat seorang dosen bingung sendiri ketika hendak menulis sebuah buku dengan jenis tertentu. 

Banyak dosen menulis buku karena tuntutan kebutuhannya untuk mengajar, tetapi lebih banyak lagi demi menambah angka kredit kepangkatannya di perguruan tinggi. Walaupun begitu, apa pun tujuannya, diharapkan dosen dapat menulis buku yang tepat dan bermutu.

Semoga artikel ringkas ini mencerahkan dan menginsafkan para dosen.[]

(Tentang Penulis: Bambang Trim, praktisi perbukuan; pernah mengajar tentang penerbitan di tiga PTN [Unpad, PNJ, dan Polimedia]; ia juga menjadi anggota pendamping tim ahli di Komisi X DPR-RI dalam penyusunan RUU Sistem Perbukuan; anggota tim ahli dalam penyusunan RPP Pelaksanaan Sistem Perbukuan di Kemdikbud RI; konsultan penilaian dan penyusunan standar perbukuan di Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Kini menjabat sebagai Direktur Institut Penulis Indonesia dan Direktur LSP Penulis dan Editor Profesional.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun