September ini tampaknya menjadi bulan yang ceria bagi dunia literasi kita. Beberapa kegiatan nasional dan lokal terkait perbukuan digelar. Salah satunya Indonesia International Book Fair 2019 yang menjadi agenda tahunan Ikapi. Sebelum itu, ada beberapa kegiatan literasi yang menarik, seperti bazar buku Patjar Merah di Malang, Mocosik di Yogyakarta, dan Litbeat di Perpusnas RI (agenda Komite Buku Nasional).
Namun, di tengah aktivitas literasi positif itu terbetik juga berita muram tentang dunia perbukuan. Teman-teman penerbit buku di Yogyakarta yang menyebut dirinya Konsorsium Penerbit Jogja melaporkan beberapa kasus pembajakan buku ke Polda DIY. Pembajakan buku di Yogya telah semakin kukuh dan meluas sehingga membesar menjadi industri pembajakan.
Memang mengherankan perilaku pembajakan ini. Sudah jelas masyarakat Indonesia dicap minat bacanya rendah dan yang namanya buku itu bukan kebutuhan primer seperti sembako, tetapi kok ya buku masih dibajak?
Hehehe, jangan terkecoh. Dari 250 juta lebih penduduk Indonesia apabila yang membaca buku hanya persentase kecil, itu masih signifikan memberi rezeki. Ada sederetan judul buku kategori laris dan sangat laris yang potensial untuk dibajak dari masa ke masa.
Pembajakan buku yang disoroti di sini adalah langsung menduplikasi buku dengan cara mencetak---belakangan juga dengan cara mendigitalkannya. Buku-buku itu dijual dengan harga sangat murah, mungkin hanya 1,5 atau 2 kali biaya produksi.Â
Para pembajak tentu tak perlu berpayah-payah menyiapkan naskah, desain, dan sebagainya. Mereka juga tidak perlu membayar royalti kepada para penulis.
Seperti halnya tulisan Iqbal Aji Daryono di Detik.com yang menyentil soal moral para pembajak buku ini, rezeki yang sudah sulit diperoleh para penulis dan penerbit itu pun akhirnya hilang.
Ketika para penulis dan penerbit sedang "tertidur", para pembajak menggarap sawah perbukuan tanpa rasa bersalah. Perasaan tak bersalah itu mungkin muncul karena mereka (dianggap) turut membantu mencerdaskan bangsa dengan buku supermurah.
Status Facebook saya tentang pembajakan ini juga dikomentari oleh seorang pegiat perbukuan kawakan. Mengapa baru sekarang ribut-ribut, katanya. Dulu Ikapi sudah memberantasnya melalui satgas pembajakan buku.
Lha, bukan baru sekarang, melainkan sejak dulu hingga kini, pembajak buku itu ternyata tidak pernah jera. Penegakan hukum tidak tegak sebagaimana mestinya. Ada yang ditangkap, tetapi keluar lagi dalam waktu singkat.
Seorang teman lagi menyikapi lain soal pembajakan buku ini. Ia lebih menggugat peran negara yang menurutnya tidak hadir dalam menyediakan buku murah bagi masyarakat Indonesia. Konteks amanah buku murah ini sebenarnya sudah disinggung di dalam UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan yang umurnya baru dua tahun lebih.