Itu konkret, tinggal memikirkan strategi pencapaiannya, termasuk menghimpun kolaborasi dengan semua pelaku perbukuan atau pemangku perbukuan.
Saya masih melihat gerakan literasi sebagai ikhtiar parsial yang belum mampu melibatkan seluruh komponen perbukuan, bahkan seluruh pemerintah daerah di Indonesia. Sering kali suatu daerah mengklaim sebagai provinsi atau kota paling literat, tetapi ukurannya belum jelas benar.Â
Tak dapatkah pemerintah pusat menggelar riset dan survei untuk menentukan provinsi yang paling literat di Indonesia? Pertanyaan selanjutnya, ukuran literat itu apa?
***
BBW itu fenomenal dan yang membawa BBW ke Indonesia juga dari negeri jiran. Mau protes mengapa harus asing? Ibarat angin saja protes itu pada zaman kini karena sama halnya memprotes pertumbuhan gerai Starbucks di mana-mana yang menyasar kelas menengah Indonesia penyuka kopi dan nongkrong.Â
Starbucks itu secara internasional mungkin nanti dapat diimbangi oleh Upnormal yang menawarkan satu menu bukan domain Starbuck yaitu mi instan.
Satu hal lagi sebenarnya minat membaca itu sulit menakarnya tanpa riset serius dengan beberapa variabel. Anak-anak kini yang keranjingan gawai (gadget) belum tentu tidak sudi membaca.Â
Mungkin saja mereka membaca buku elektronik dengan sentuhan baru realitas tertambah (augmented reality). Mungkin juga di rumah-rumah mereka yang tidak ada buku bacaan dan para orangtua tidak mengenalkan buku sejak dini.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H