Unggahan BPJS membuat heboh dan terkekeh banyak warganet yang membacanya. Pasalnya, unggahan tersebut termasuk tidak bernalar atau tidak logis. Begini lengkapnya tulisan dalam tangkapan layar Twitter.
Mengutip detikHealth (detik.com) disebutkan bahwa Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Maruf, mengatakan adanya salah ketik (typho). Peserta yang sudah meninggal tidak harus mengurus sendiri penonaktifan kepesertaan dengan datang ke kantor cabang BPJS Kesehatan---ya iyalah.
"Itu typho ... mohon maaf. Kesalahannya sudah kami perbaiki. Pengurusan penonaktifan peserta yang sudah meninggal bisa diwakilkan pada anggota keluarga," kata Iqbal pada detikHealth.
Namun, Kepala Humas BPJS itu keliru karena kasus ini bukanlah kasus salah tik (saltik. yang baku 'tik' bukan 'ketik') alias typographical error (typo)Â sebagaimana dapat dimaklumi. Perhatikan kata-kata di dalam kalimat unggahan tersebut, adakah yang salah tik?
Kasus saltik itu adalah kasus tidak disengaja karena terjadi slip jari di bilah kibor saat mengetik. Alhasil, satu kata yang ditik, tertulis salah ejaannya. Walaupun dianggap tidak disengaja, kasus saltik dapat berakibat fatal di dalam bahasa Indonesia.
Dalam penggunaan kata bahasa Indonesia, kasus saltik dapat menimbulkan arti baru. Contohnya, 'beras' menjadi 'besar' atau 'ketika' menjadi 'ketiak'. Saat mengetik terburu-buru di media sosial atau di Kompasiana ini, penulis sering mengalami saltik.Â
Masalahnya penulis atau pengunggah tulisan sering tidak melakukan swasunting atau membaca ulang tulisan/unggahannya. Seringnya saltik dianggap wajar saja, padahal jelas-jelas mengganggu keterbacaan, bahkan dapat mengubah makna.
Di Kompasiana apabila penulis terlalu banyak melakukan saltik atau typho tentu akan mengurangi bobot tulisannya, bahkan mungkin saja terjadi pembaca keliru memaknai. Misalnya, penulis bermaksud menggunakan kata 'persebaran', tetapi yang ditik malah 'perbesaran'. Arti atau maknanya jelas berbeda.Â
Apalagi, jika menyangkut hal sensitif seperti ini: mau menulis Menteri Tenaga Kerja karena saltik menjadi Menteri Tenaga Kera. Dapat juga Anda bayangkan jika kata 'kontrol' ditik tanpa huruf 'r'.
Kembali pada unggahan BPJS, kasus itu murni kesalahan berbahasa atau ketidakcermatan berbahasa petugas yang menjawab pertanyaan peserta BPJS. Jadi, kesalahan berbahasa tidak dapat disamakan dengan kesalahan tik.Â
Pasalnya, nanti orang-orang bakal "meniru" bahwa ketika mereka salah mengeposkan sesuatu di media sosial, lalu berkilah bahwa itu salah tik.
Jika mau diedit, petugas BPJS semestinya menulis seperti berikut ini.
Mohon maaf untuk proses penonaktifan peserta yang meninggal dunia, anggota keluarga peserta ybs wajib datang ke kantor cabang BPJS Kesehatan.
Jadi, ada kata tambahan dan tanda baca yang diperlukan untuk membuat jawaban petugas BPJS itu dapat dinalar. Kalimat unggahan yang menjadi viral itu jelas tidak dapat dinalar, sama seperti kalimat yang populer berikut ini di kalangan para pemerhati bahasa:
Mayat wanita yang ditemukan tadi pagi, sebelumnya terlihat mondar-mandir di depan toko.
Kalimat tersebut secara struktur sudah benar, tetapi tidak dapat dinalar. Mungkinkah mayat wanita dapat berjalan mondar-mandir? Itu sama dengan pocong yang harus datang ke kantor BPJS.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H