Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Daftar Pustaka yang Terluka

13 Maret 2019   08:44 Diperbarui: 13 Maret 2019   16:01 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Praveen Gupta/Unsplash

Di antara kita, terutama yang pernah menyusun karya tulis ilmiah, pasti tidak asing dengan daftar pustaka (bibliography) dan daftar rujukan (references/citation). Daftar ini menjadi salah satu ciri bobot sebuah tulisan karena menggunakan pijakan teori, definisi, studi kasus, contoh-contoh, dari sejumlah bacaan dan rujukan. Beberapa lembaga juga membuat aturan seberapa banyak sumber pustaka yang harus tercantum di dalam daftar pustaka/daftar rujukan.

Daftar pustaka sejatinya berbeda dengan daftar rujukan/acuan. Di dalam daftar pustaka, apa yang termuat belum tentu dirujuk langsung di dalam teks. Artinya, ada yang sekadar menjadi bahan bacaan untuk menguatkan pemikiran penulis. 

Sebaliknya, di dalam daftar rujukan, apa yang termuat harus dirujuk atau terdapat kutipannya di dalam teks, baik itu melalui catatan perut (in-note/in-text reference), catatan kaki (footnote), ataupun catatan akhir (endnote).

Ada bermacam cara penyusunan daftar pustaka yang diterapkan setiap pedoman gaya selingkung (house style), seperti CMS, Harvard, APA, MLA, ISO, Turabian, dan Vancouver. 

Perbedaan itu bukan soal benar atau salah. Hal terpenting adalah penulis atau penerbit harus konsisten mengacu pada satu gaya penulisan. Jangan sampai di setiap publikasi terdapat bermacam gaya penyusunan daftar pustaka/daftar rujukan.

Daftar pustaka kini semakin berkembang. Apa yang didaftarkan sudah beraneka ragam, yaitu buku, media cetak, media daring, video dari aplikasi seperti Youtube, siaran televisi, siaran radio, karya tulis ilmiah nonbuku, karya yang belum dipublikasikan, dan sebagainya. 

Pendeknya, semua bahan yang berpotensi dijadikan sumber tulisan, disebutkan penulis. Hanya sumber berupa hasil wawancara yang tidak perlu dimuat di daftar pustaka.

Adakah buku atau karya tulis ilmiah yang tidak mencantumkan daftar pustaka? Adalah hal yang aneh jika sebuah buku nonfiksi tidak mencantumkan daftar pustaka. 

Artinya, sang penulis benar-benar mengandalkan pikiran orisinalnya tanpa memerlukan pijakan teori, definisi, contoh-contoh dari buku lain. Namun, saya pernah menemukan beberapa buku tanpa daftar pustaka. 

Ada yang meyakinkan bahwa isi buku murni pemikiran penulisnya, tetapi ada pula yang meragukan karena terdeteksi ia mengambil beberapa gagasan orang lain di dalam tulisannya, tetapi enggan mengakui bahwa ia mengutip---ini soal kode etik penulisan.

Sebaliknya, tidak lazim sebuah karya fiksi (seperti novel) menggunakan daftar pustaka, tetapi bukan tidak boleh. Novel Nagabumi karya Seno Gumira Ajidarma menggunakan catatan kaki dan daftar pustaka yang mencengangkan. 

Berbasis sejarah itu memang memerlukan rujukan di sana-sini yang menandakan sang penulis melakukan riset mendalam---tidak asal berimajinasi belaka.

Karya-karya fiksi yang menggunakan basis data dan fakta, sah-sah saja mencantumkan daftar pustaka, malah menjadi perlu agar tidak dianggap "mengarang-ngarang" data.

Salah satu hal yang "mengerikan" atau malah "menggelikan" saat ini adalah beredarnya buku-buku yang daftar pustakanya semua dari sumber internet. 

Bahkan, informasi yang dicantumkan hanya nama situs web, tidak dilengkapi dengan tautan artikel serta judul, nama penulis, dan tanggal publikasi dari bahan yang dikutip. Ada kemungkinan penulisnya tinggal comot saja dari internet, lalu dijadikan buku dan diakui sebagai karyanya.

Ia boleh berkilah bukan plagiat karena mencantumkan sumbernya di daftar pustaka, padahal sumbernya pun meragukan. Daftar pustaka bagi beberapa orang penulis sering dianggap semacam penggugur tuduhan bahwa ia melakukan plagiat. Padahal, adanya daftar pustaka belum tentu menihilkan perilaku plagiat.

Sering juga penulis mencantumkan pada daftar pustaka buku-buku yang sebenarnya tidak dibacanya, apalagi dikajinya. Ia sedang menipu dirinya sendiri supaya terlihat tulisannya berbobot dengan sekian bacaan di daftar pustaka. Daftar pustaka pun terluka. 

Ia pun berdendang, "Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku ...."[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun