Sebaliknya, tidak lazim sebuah karya fiksi (seperti novel) menggunakan daftar pustaka, tetapi bukan tidak boleh. Novel Nagabumi karya Seno Gumira Ajidarma menggunakan catatan kaki dan daftar pustaka yang mencengangkan.Â
Berbasis sejarah itu memang memerlukan rujukan di sana-sini yang menandakan sang penulis melakukan riset mendalam---tidak asal berimajinasi belaka.
Karya-karya fiksi yang menggunakan basis data dan fakta, sah-sah saja mencantumkan daftar pustaka, malah menjadi perlu agar tidak dianggap "mengarang-ngarang" data.
Salah satu hal yang "mengerikan" atau malah "menggelikan" saat ini adalah beredarnya buku-buku yang daftar pustakanya semua dari sumber internet.Â
Bahkan, informasi yang dicantumkan hanya nama situs web, tidak dilengkapi dengan tautan artikel serta judul, nama penulis, dan tanggal publikasi dari bahan yang dikutip. Ada kemungkinan penulisnya tinggal comot saja dari internet, lalu dijadikan buku dan diakui sebagai karyanya.
Ia boleh berkilah bukan plagiat karena mencantumkan sumbernya di daftar pustaka, padahal sumbernya pun meragukan. Daftar pustaka bagi beberapa orang penulis sering dianggap semacam penggugur tuduhan bahwa ia melakukan plagiat. Padahal, adanya daftar pustaka belum tentu menihilkan perilaku plagiat.
Sering juga penulis mencantumkan pada daftar pustaka buku-buku yang sebenarnya tidak dibacanya, apalagi dikajinya. Ia sedang menipu dirinya sendiri supaya terlihat tulisannya berbobot dengan sekian bacaan di daftar pustaka. Daftar pustaka pun terluka.Â
Ia pun berdendang, "Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku ...."[]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI