Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Internasionalisasi Buku Indonesia, Bermanfaatkah?

11 Maret 2019   08:19 Diperbarui: 11 Maret 2019   17:34 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Bambang Trim/Manistebu.com

Merasa Inferior
Selama ini kita memang dipandang atau malah memandang diri sangat inferior dalam soal perbukuan. Hampir tak ada data yang valid soal perbukuan kita, kecuali lagu lama yang terdengar minor yaitu rendahnya minat baca yang berdampak pada rendahnya minat menulis. 

Soal berapa jumlah buku yang terbit, berapa jumlah penulis Indonesia, berapa pendapatan industri perbukuan Indonesia, dan sebagainya, tidak ada data yang tersedia. Hal ini sedikit banyak menyulitkan dalam pengambilan keputusan strategis untuk pemajuan perbukuan Indonesia.

Lalu, mengapa pemerintah Indonesia tidak mengambil perhatian serius soal ketersediaan data ini, sementara partisipasi di ajang perbukuan internasional makin giat dilaksanakan? Entahlah, padahal keberadaan data tidak boleh dinafikan begitu saja.

Empat peristiwa perbukuan nasional yang menarik dalam dua bulan ini patut menjadi catatan yaitu penyelenggaraan Liga Buku Bandung, Islamic Book Fair 2019, Big Bad Wolf, dan terakhir Patjar Merah di Jogja. Pameran dan ajang penjualan buku itu disesaki pengunjung yang seolah mementahkan anggapan minat baca orang Indonesia rendah.

Rasa inferior juga sering muncul soal kemampuan berbahasa Inggris orang Indonesia. Pegiat Yayasan Lontar yang namanya sangat beken di kalangan perbukuan, John McGlynn, selalu menyampaikan fakta yang kurang mengenakkan soal penerjemahan karya-karya sastra Indonesia ke bahasa Indonesia. 

Menurutnya, penerjemah dari Indonesia sedikit sekali yang becus menerjemahkan sastra kanon Indonesia. Hal ini sedikit banyak memengaruhi kecepatan internasionalisasi karya-karya Indonesia.

Namun, untuk saat ini masa iya tidak ada orang Indonesia yang becus berbahasa Inggris dan menerjemahkan sastra kanon dari bangsa sendiri? Apakah tetap harus melibatkan native speaker dan mereka itu lebih paham bahasa Indonesia daripada kita?

Saya kira generasi X dan generasi Y Indonesia semakin banyak memiliki kapasitas berbahasa Inggris yang baik. Bahkan, kompetensi menulis karya langsung dalam bahasa Inggris.

Seperti yang disampaikan Richard Oh di linimasa FB, kinerja Yayasan Lontar patut juga dipertanyakan karena sudah berpuluh tahun "gagal" membawa banyak karya sastra Indonesia ke panggung dunia. Jangan katakan tidak ada karya baru yang bermutu. 

Mungkin karena terlena dengan keinferioran kita, yang mengurus sastra Indonesia haruslah orang asing seperti John. Sastra Indonesia dan sastrawan Indonesia memang cenderung tidak diurus oleh negara sekian lama.

Internasionalisasi di Tengah Persoalan Perbukuan
Momentum internasionalisasi buku-buku Indonesia mulai sangat terasa ketika Indonesia menjadi guest of honor dalam Frankfurt Book Fair 2015. Tentu menjadi guest of honor itu tidak gratis. Indonesia harus merogoh kocek lebih dari 140 M rupiah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun