Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengubah Tangisan Menjadi Tulisan

2 Februari 2019   21:12 Diperbarui: 2 Februari 2019   22:52 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tought Catalog/Unsplash

Cerita ini saya dapat dari Mas Anang Y.B., seorang penulis profesional. Ia beberapa waktu lalu menghadiri acara Diskusi Bulanan Komunitas PBK (Penerbit Buku Kompas). Bintang tamunya istimewa, Marchella FP, penulis buku sangat laris: Nanti Kita Cerita tentang Hari ini (NKCtHi). Mas Anang Y.B. berkisah singkat tentang Marchella yang berbagi kiat bagaimana ia membuat NKCtHi penjualannya melesat ribuan eksemplar dalam hitungan menit.

Marchella telah merancang buku NKCtHi tersebut berbulan-bulan sebelum ia menuliskannya. Riset utamanya adalah melalui media sosial. Ia mampu menghimpun begitu banyak pengikut melalui akun yang telah disiapkannya. Salah satu "riset" kebutuhan yang dilakukan Marchella adalah melontarkan pertanyaan.

Kata-kata apa yang paling membuat kamu terluka? Itu salah satu pertanyaan Marchella yang direspons langsung oleh para pengikutnya.

Ada yang menyampaikan kisah getir bahwa kata-kata yang membuatnya terluka adalah ketika sang ayah melontarkan kemarahannya: Saya menyesal punya anak seperti kamu! Ungkapan sang ayah itu menimbulkan luka batin yang membekas dalam. 

Dari  pertanyaan-pertanyaan semacam itu Marchella menggagas bukunya. Buku yang dibuat dengan mewakili perasaan banyak orang.

Itu sepenggal cerita yang saya dengar dari Mas Anang Y.B. pada suatu Sabtu (2 Februari 2019) yang menginspirasi. Hari itu saya meminta Mas Anang berbicara sebentar tentang apa yang membuatnya bahagia melalui menulis.

Mas Anang hadir dalam acara Workshop "Writing for Happiness" yang menghadirkan narasumber Mbak Naning Pranoto---salah seorang literator yang tersohor dengan ilmu creative writing-nya.

Naning Pranoto berbagi kiat menulis untuk bahagia (Foto: Bambang Trim)
Naning Pranoto berbagi kiat menulis untuk bahagia (Foto: Bambang Trim)
Acara workshop ini digelar untuk kali pertama oleh Institut Penulis Indonesia dan Penpro (Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia). Pemicunya adalah buku karya Mbak Naning berjudul Writing for Therapy yang diterbitkan Pustaka Obor.

Apa hubungannya dengan buku NKCtHi yang berhasil meraup angka pre-order 4.000 eksemplar dalam tujuh menit? Saya termasuk generasi menjelang sunset yang membeli buku tersebut.

Saya membaca beberapa halaman, isinya berupa teks-teks pendek yang dihiasi ilustrasi---maklum karena Marchella sejatinya adalah seorang desainer grafis. Marchella sendiri mengaku ia bukanlah seorang penulis.

Mengapa buku ini menjadi magnet yang mampu menembus angka puluhan ribu, bahkan mungkin sekarang sudah ratusan ribu eksemplar dalam waktu kurang dari 1 tahun? Asumsi saya salah satunya karena Marchella mampu mengubah tangisan para pengikutnya menjadi tulisan. Catat!

Misteri Tangisan
Berapa tangisan yang terjadi di dalam hidup Anda? Hal yang pasti Anda kali pertama menangis ketika dilahirkan ke dunia ini. Masa kanak-kanak Anda juga pasti dipenuhi tangisan sebagai cara menunjukkan emosi yang paling jitu untuk meminta perhatian.

Bagaimana dengan masa remaja dan dewasa Anda? Tangisan muncul dari dua kutub yaitu kebahagiaan dan kegetiran (penderitaan). Itu yang disebut tangisan emosional---tentu berbeda dengan tangisan karena irisan bawang atau tangisan berpura-pura.

Perempuan atau lelaki pasti pernah menangis meskipun dalam praktiknya lelaki lebih memilih menyembunyikan tangisannya. Bagi banyak lelaki, menangis di depan umum adalah hal yang tabu.

Ada kisah menarik tentang tangisan yang saya kutip dari buku The Extraordinary Healing Power of Ordinary Things karya Larry Dossey. Sebuah kasus yang disebut Dossey mahaaneh pernah terjadi pada seorang wanita di Australia yang berusia 56 tahun. Wanita itu tidak menangis dengan kedua matanya sekaligus, tetapi satu per satu.

Jika ia mengingat ibunya, ia menangis begitu saja hanya dengan mata kanan. Jika ia sedang mengenang sang ayah, bulir air mata keluar dari mata kirinya. Kondisi ini mendapat julukan 'lakrimasi' (proses pembentukan air mata) unilateral bergantian dari sang terapis.

Usut punya usut, wanita itu pernah mengalami pelecehan seksual pada masa kecilnya. Setelah dewasa, ia menderita katatonia (kelainan psikis yang disebabkan oleh ketegangan otot yang tidak wajar) periodik. Pelaku pelecehan seksual itu diduga adalah ayahnya sendiri. Hubungan ini menjadi menarik ketika kejahatan sang ayah terhubung dengan mata kiri---kiri sering diasosiasikan sebagai sesuatu yang buruk/jahat.

Kasus ini menyebabkan sebuah tangisan menjadi misteri yang perlu dipecahkan oleh para ahli. Judy Foreman, kolumnis asosiasi kesehatan menulis artikel berjudul "Sob Story" dengan mengungkap beberapa fakta menarik tentang tangisan, di antaranya sebagai berikut.

  • Sebelum pubertas, frekuensi menangis anak laki-laki sama dengan anak perempuan, Namun, pada usia 18, anak perempuan lebih unggul dalam urusan menangis.
  • Struktur kelenjar air mata pria berbeda dengan wanita, tetapi tidak ada yang tahu apa sebabnya.
  • Orang dewasa menangis tiap dua belas episode mengharukan.
  • Air mata emosional lebih kaya protein dibandingkan air mata akibat pedih, misalnya ketika mengiris bawang.
  • Air mata emosional dan akibat pedih sama-sama mengandung mangan (Mg) tiga puluh kali lebih banyak dibandingkan yang terdapat dalam darah. Hal ini menunjukkan bahwa air mata dapat berfungsi membersihkan tubuh dari racun.

Ilmuwan lain, William Frey II, peneliti air mata terkemuka dari Ramsey Medical Center, mengungkap fakta lain. Ia setuju bahwa tangisan berfungsi penting dalam hidup manusia. Dari hasil riset bersama koleganya terhadap sekelompok orang, Frey menemukan bahwa wanita mengalami tangisan emosional sebanyak 94 persen dalam sebulan dan pria hanya 55 persen.

Sebanyak 83% wanita yang menangis merasa lebih baik dan lebih lega setelah menangis dengan leluasa, sedangkan pria sebanyak 73% merasakan hal yang sama. Lamanya durasi tangisan antara wanita dan pria tidak berbeda, tetapi cara menangisnya berbeda. Wanita lebih banyak mengeluarkan bunyi ketika menangis, sedangkan pria tidak.

Frey juga mendapati data bahwa wanita rata-rata menangis 5,3 kali per bulan, sedangkan pria 1,4 kali per bulan. Selain itu, ditemukan fakta bahwa air mata akibat mata pedih mengandung 98% air, sedangkan air mata emosional lebih banyak mengandung racun. Itu sebabnya fungsi menangis adalah mengeluarkan racun yang tak perlu dari dalam tubuh.

Jadi, tangisan bukanlah wujud kelemahan diri menghadapi sesuatu, melainkan sebuah aktivitas alamiah untuk menghadapi kesedihan, stres, dan luka batin. Karena itu, menangis sebenarnya adalah terapi yang terkait erat dengan menulis.

Jika dihubungkan dengan religiositas, tangisan juga menunjukkan ketidakberdayaan seorang hamba di hadapan Sang Khalika. Banyak orang yang sontak menangis jika terkoneksi pada ingatan kesalahan-kesalahannya pada masa lalu. Ia memerlukan tempat mengadu paling mujarab yaitu Tuhan.

Kala Tangisan Menjadi Tulisan
Entah karena penelitian yang tadi saya uraikan maka tampak lebih banyak wanita yang menulis dibandingkan lelaki yang menulis. Atau boleh disebutkan lebih banyak wanita yang ingin menjadi penulis daripada lelaki. Saya melihat sendiri fenomena ini dalam kegiatan-kegiatan penulisan, lebih banyak wanitanya daripada lelaki.

Namun, ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut bahwa memang ada keterlibatan wanita lebih dominan dalam penulisan dan ada hubungan dengan seringnya wanita menangis secara emosional. Jadi, wanita lebih banyak terdorong menulis yang berasal dari tangisan.

Pertanyaannya sekarang, benarkah tangisan dapat diubah menjadi tulisan?

Saya termasuk yang mengagumi karya Paul Stoltz berjudul Adversity Quotient---sebuah  kapasitas kecerdasan seseorang dalam menghadapi kegetiran. Stoltz mengungkap di balik kesuksesan seseorang, tersimpan kapasitas dirinya yang persisten menghadapi kegetiran. Persisten bukan berarti tanpa tangisan.

Perhatikan buku-buku motivasi atau biografi/autobiografi/memoar orang-orang sukses atau mereka yang menjadi tokoh dunia, selalu ada air mata di balik kesuksesan mereka. Air mata itulah yang berwujud menjadi cerita-cerita mengharukan atau dramatik yang dapat kita nikmati sebagai hikmah.

Setiap saya membaca biografi/autobiografi/memoar seorang tokoh yang ditulis dengan apik, pasti saya menemukan kisah-kisah getir itu di samping kisah-kisah konyol yang menimbulkan tawa. Atau jika saya menuliskan kisah hidup seorang tokoh, saya pasti akan "mengejar" kisah-kisah getir yang dapat mendorong keluarnya air mata pembaca.

Saya kutipkan juga kisah Kate M. Brausen yang termuat di dalam buku populer Chicken Soup for the Writer's Soul.  Kate mengalami masa kecil yang indah seperti anak lainnya, sampai kemudian saat berada di kelas lima SD, ia mulai sering tersandung dengan kakinya sendiri.

Saat remaja, Kate menyadari kakinya telah menderita kelainan otot seperti yang juga terjadi pada kakak laki-lakinya. Kaki Kate tidak tumbuh normal, ia harus menggunakan sepatu ortopedik dan alat penopang kaki.

Sampai suatu hari Kate jatuh di sekolahnya. Ia menangis tersedu-sedu sambil mencari tempat untuk menyendiri. Kate mengeluarkan buku catatan dari dalam tasnya dan mulai menulis puisi tentang apa yang dirasakannya. Kate menulis Haiku---puisi tradisional Jepang yang terdiri atas tiga baris (triplet).

Bertahun-tahun kemudian setelah sore dramatis mengubah tangisan menjadi tulisan, Kate sukses menjadi seorang penulis lepas. Ia menyebutkan, "Menulis adalah sejenis doa, yang terus membantuku mencapai dan menaklukkan hidupku tanpa merasa, pada akhirnya, ditaklukkan olehnya."

Menangis bukan keterampilan dan itu terjadi pada setiap orang. Mengubah tangisan menjadi tulisan juga bukan sebuah keterampilan, tetapi kemauan untuk melepaskan emosi-emosi yang mengendap bersamaan dengan keluarnya air mata.

Teknik ini biasa dikenal dengan nama free writing. Karena itu, menangis lalu menulis adalah keniscayaan untuk siapa pun dan dapat dipraktikkan begitu saja.

Dari kebiasaan itu maka akan muncul sebuah keterampilan mengungkapkan perasaan, lalu pikiran. Itulah yang kemudian dapat ditata hingga menjadi sebuah tulisan yang layak muat dan layak baca.

Oh ya, saya jadi ingat tulisan populer tahun 1980-an yang berasal dari rubrik sebuah majalah wanita. Anda tahu? Itulah Oh Mama, Oh Papa. Redakturnya yang hebat mampu mengubah tangisan menjadi tulisan. Kalau tidak salah, hampir semua cerita itu pengisahnya adalah wanita.

***
Di dalam bukunya Writing for Therapy, Mbak Naning memaparkan berbagai penelitian tentang ampuhnya tulisan dijadikan sebagai terapi, terutama bagi mereka yang mengalami luka batin.

Dalam acara Sabtu pagi di Institut Penulis Indonesia, Mbak Naning juga memaparkan kisah-kisah getirnya yang coba ia lawan dengan menuliskannya. Mengubah tangisan menjadi tulisan itulah yang dilakukan Mbak Naning sebagai suatu proses kreatif yang juga dapat dilakukan oleh siapa pun.

Saya dan Mbak Naning (Foto: IPI)
Saya dan Mbak Naning (Foto: IPI)
Maka dari itu, boleh dicoba setiap satu tangisan menjadi satu tulisan. Namun, jangan setiap menulis Anda harus menangis dulu.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun