Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Dapatkah Bahasa dan Buku Bersatu?

12 November 2018   09:00 Diperbarui: 12 November 2018   12:01 1621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Puskurbuk di Gunung Sahari, Jakpus (Foto: Institut Penulis Indonesia)

Saya mengikuti betul bagaimana sejak awal gagasan pembentukan lembaga perbukuan digulirkan oleh Komisi X DPR-RI. Kala itu, Agustus 2016, saya ditunjuk sebagai anggota tim pendamping ahli dalam rangka penyusunan RUU tentang Sistem Perbukuan (Sisbuk). Kini RUU itu telah resmi menjadi UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan---ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 29 Mei 2017.

Ketua Tim Perumus RUU Sisbuk Komisi X DPR-RI, Sutan Adil Hendra (Fraksi Gerindra), bersama anggota lain awalnya menginginkan lembaga perbukuan yang dibentuk adalah lembaga independen setingkat kementerian atau semacam badan perbukuan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Bahkan, mereka menginginkan pimpinan badan perbukuan tersebut dipilih melalui mekanisme fit and proper test.

Namun, pihak pemerintah bersikeras pada arahan Presiden untuk tidak membentuk lembaga/badan baru, tetapi lebih mengoptimalkan lembaga yang sudah ada. Dalam konteks ini di bawah Kemendikbud telah ada Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) yang dipimpin pejabat setingkat eselon II. 

Dalam sejarahnya, di Indonesia pernah dibentuk Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku Nasional (BPPBN) dengan Keppres No. 5 Tahun 1978. Lalu, pemerintah juga mendirikan Pusat Perbukuan (Pusbuk) dengan Keppres No. 4 Tahun 1987 di bawah naungan Depdikbud. 

Saat reformasi, pemerintah membentuk Dewan Buku Nasional dengan Keppres 110 Tahun 1999 pada masa pemerintahan B.J. Habibie yang sekaligus membekukan BPPBN. Namun, tahun 2014, DBN dibubarkan oleh pemerintah pada masa SBY.

Pusat Perbukuan masih berdiri hingga kemudian pada zaman Mendikbud Muhammad Nuh, lembaga ini digabung dengan Pusat Kurikulum berada di bawah Balitbang Kemendikbud. Selain Puskurbuk, di Kemendikbud kini ada juga lembaga bernama Komite Buku Nasional (KBN) yang dibentuk pasca Indonesia menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. 

KBN berada di bawah Setjen Kemendikbud yang melakukan tugas dan fungsi, di antaranya penyelenggaraan pameran di luar negeri, program residensi penulis di dalam dan luar negeri, dan hibah penerjemahan.

LAHIRNYA PERPRES 101/2018

Dalam proses selanjutnya, Komisi X DPR-RI melunak, tetapi tetap menginginkan lembaga perbukuan naik kelas dengan dipimpin oleh pejabat eselon I. Alhasil, Mendikbud Muhadjir Effendi menawarkan opsi membentuk lembaga baru dalam format penggabungan. Dipilihlah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa). Artinya, Badan Bahasa yang dipimpin pejabat eselon I itu akan turut menangani perbukuan.

Dengan opsi dan keputusan ini tentu ada juga gejolak pemikiran yang terjadi, baik di Badan Bahasa maupun di Puskurbuk sendiri. Hal utama yang mengemuka adalah apa mungkin satu badan menangani konsentrasi yang berbeda dan sama pentingnya yaitu bahasa dan buku?

Namun, penggabungan ini setelah UU Nomor 3/2017 diundangkan tetap berproses, bahkan saat penyusunan RPP (rancangan peraturan pemerintah) tentang pelaksanaan Sisbuk sedang dirumuskan. Dalam penyusunan RPP, Badan Bahasa mulai dilibatkan. Saya sendiri terlibat dalam beberapa rapat untuk menggodok konsep "badan baru" ini, termasuk memberi masukan terhadap proses bisnisnya.

Puncaknya keluarlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 101 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui Perpres bertanggal 30 Oktober 2018 ini resmilah dibentuk Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Baik personel di Pusat Perbukuan maupun Badan Bahasa akhirnya, sama-sama harus legawa dengan keputusan ini meskipun ditengarai ada kesulitan-kesulitan teknis dalam pembagian tugas dan wewenang karena beberapa kegiatan di Pusat Perbukuan dan Badan Bahasa sebelumnya ada yang beririsan, terutama terkait keliterasian.

Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan (BPBP) dipimpin seorang kepala badan yang bertanggung jawab kepada Mendikbud. Tugasnya melaksanakan pengembangan, pembinaan, dan pelindungan di bidang bahasa dan sastra serta pengembangan, pembinaan, dan pengawasan sistem perbukuan. Jadi, di perbukuan sendiri kini terdapat satu kepala pusat perbukuan dan tiga kepala bidang yang membawahkan Bidang Pengembangan, Bidang Pembinaan, dan Bidang Pengawasan.

KONSEKUENSI BERSATU

Konsekuensi bersatu tentulah tugas Kepala BPBP akan semakin kompleks karena ia harus juga memberi perhatian terhadap sektor perbukuan yang selama ini terabaikan dalam konteks untuk semua jenis buku. 

Mau tidak mau kepala badan yang sebelumnya merupakan sosok mumpuni di bidang kebahasaan, kini juga harus ditambah menguasai bidang perbukuan. Paling tidak kepala pusat perbukuan di bawahnya juga merupakan sosok yang paham tentang dunia perbukuan dan dapat melakukan koordinasi antar L/K terkait perbukuan.

Model BPBP yang sekarang ini tampaknya tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di negara jiran kita, Malaysia. Sejak lama mereka memiliki Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia yang menangani bahasa Melayu serta perbukuan. Namun, di Malaysia selain DBP, ada lembaga pemerintah lain yang bertugas di bidang perbukuan, seperti Kota Buku dan Institut Terjemahan Malaysia sehingga tugas DBP di bidang perbukuan lebih terbagi.

Idealnya badan perbukuan memang dibuat seperti Bekraf. Bekraf sendiri kerap juga memberi perhatian terhadap pengembangan dan pembinaan perbukuan. Bekraf bahkan menginisiasi lahirnya Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) dan mendukung penyelenggaraan International Indonesia Book Fair (IIBF) serta penyelenggaraan pameran di luar negeri. Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi malah mengemukakan Bekraf ke depan layak jadi kementerian.

Kembali tentang badan baru ini bolehlah pemerintah "bereksperimen" dulu, mencocok-cocokkan bahasa dengan buku. Cocok saja saya kira karena media pengantar di dalam buku dominannya adalah bahasa, selain gambar. 

Demikian pula pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa tidak terlepas dari penerbitan buku. Buku dan bahasa tidak terpisahkan dan sama-sama penting dalam konteks peradaban bangsa, terutama terkait kesusastraan.

Walaupun demikian, kecocokan ini belumlah dapat mengindikasikan akan berjalannya dengan baik semua program seperti yang diharapkan oleh sepuluh pelaku perbukuan (penulis, penerjemah, penyadur, editor, ilustrator, desainer, penerbit, pencetak, toko buku, dan pengembang buku elektronik). Pasalnya, dunia perbukuan Indonesia masih tengah bertahan untuk menjadi penyintas zaman. 

Betul bahwa ada perkembangan dunia buku kita, terutama di pentas internasional. Namun, tidak dapat dimungkiri masih terdapatnya "ketimpangan-ketimpangan" dalam jagat perbukuan nasional sendiri. Negara memang harus hadir. Jadi, kita lihat saja nanti.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun