Puncaknya keluarlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 101 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui Perpres bertanggal 30 Oktober 2018 ini resmilah dibentuk Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Baik personel di Pusat Perbukuan maupun Badan Bahasa akhirnya, sama-sama harus legawa dengan keputusan ini meskipun ditengarai ada kesulitan-kesulitan teknis dalam pembagian tugas dan wewenang karena beberapa kegiatan di Pusat Perbukuan dan Badan Bahasa sebelumnya ada yang beririsan, terutama terkait keliterasian.
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan (BPBP) dipimpin seorang kepala badan yang bertanggung jawab kepada Mendikbud. Tugasnya melaksanakan pengembangan, pembinaan, dan pelindungan di bidang bahasa dan sastra serta pengembangan, pembinaan, dan pengawasan sistem perbukuan. Jadi, di perbukuan sendiri kini terdapat satu kepala pusat perbukuan dan tiga kepala bidang yang membawahkan Bidang Pengembangan, Bidang Pembinaan, dan Bidang Pengawasan.
KONSEKUENSI BERSATU
Konsekuensi bersatu tentulah tugas Kepala BPBP akan semakin kompleks karena ia harus juga memberi perhatian terhadap sektor perbukuan yang selama ini terabaikan dalam konteks untuk semua jenis buku.Â
Mau tidak mau kepala badan yang sebelumnya merupakan sosok mumpuni di bidang kebahasaan, kini juga harus ditambah menguasai bidang perbukuan. Paling tidak kepala pusat perbukuan di bawahnya juga merupakan sosok yang paham tentang dunia perbukuan dan dapat melakukan koordinasi antar L/K terkait perbukuan.
Model BPBP yang sekarang ini tampaknya tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di negara jiran kita, Malaysia. Sejak lama mereka memiliki Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia yang menangani bahasa Melayu serta perbukuan. Namun, di Malaysia selain DBP, ada lembaga pemerintah lain yang bertugas di bidang perbukuan, seperti Kota Buku dan Institut Terjemahan Malaysia sehingga tugas DBP di bidang perbukuan lebih terbagi.
Idealnya badan perbukuan memang dibuat seperti Bekraf. Bekraf sendiri kerap juga memberi perhatian terhadap pengembangan dan pembinaan perbukuan. Bekraf bahkan menginisiasi lahirnya Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) dan mendukung penyelenggaraan International Indonesia Book Fair (IIBF) serta penyelenggaraan pameran di luar negeri. Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi malah mengemukakan Bekraf ke depan layak jadi kementerian.
Kembali tentang badan baru ini bolehlah pemerintah "bereksperimen" dulu, mencocok-cocokkan bahasa dengan buku. Cocok saja saya kira karena media pengantar di dalam buku dominannya adalah bahasa, selain gambar.Â
Demikian pula pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa tidak terlepas dari penerbitan buku. Buku dan bahasa tidak terpisahkan dan sama-sama penting dalam konteks peradaban bangsa, terutama terkait kesusastraan.
Walaupun demikian, kecocokan ini belumlah dapat mengindikasikan akan berjalannya dengan baik semua program seperti yang diharapkan oleh sepuluh pelaku perbukuan (penulis, penerjemah, penyadur, editor, ilustrator, desainer, penerbit, pencetak, toko buku, dan pengembang buku elektronik). Pasalnya, dunia perbukuan Indonesia masih tengah bertahan untuk menjadi penyintas zaman.Â
Betul bahwa ada perkembangan dunia buku kita, terutama di pentas internasional. Namun, tidak dapat dimungkiri masih terdapatnya "ketimpangan-ketimpangan" dalam jagat perbukuan nasional sendiri. Negara memang harus hadir. Jadi, kita lihat saja nanti.[]