Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Ternyata Ada Sensor di Antara Kita

1 November 2018   08:48 Diperbarui: 1 November 2018   15:07 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Erik Witsoe dalam Unsplash

Film yang terakhir saya tonton bersama keluarga adalah Goosebumps 2: Haunted Halloween. Dari peruntukan atau klasifikasi usia penontonnya, film ini sebenarnya untuk remaja dengan kode 13+ (boleh ditonton oleh anak/remaja usia 13 tahun atau lebih). 

Namun, saya membawa serta juga si kecil yang baru berusia 4 tahun 10 bulan dengan keriangannya mengunjungi bioskop. Saya mengabaikan 'sensor mandiri' sebagai orangtua.

Pernah suatu ketika juga karena keinginan pribadi, saya membawa keluarga menonton film aksi untuk klasifikasi 17+ tahun. 

Ada rasa bersalah ketika muncul adegan kekerasan dan istri memarahi saya selepas menonton. Lagi-lagi yang namanya sensor mandiri (self-cencorship) tidak berjalan pada diri saya. 

Ini sebuah peringatan untuk memunculkan kesadaran diri pentingnya memilah dan memilih apa yang patut ditonton oleh anak-anak kita. Apalagi, anak-anak zaman now yang akrab dengan gawai serta media yang sudah terkonvergensi.

Namun, terkadang, bahkan sering di bioskop juga petugasnya tidak memperingatkan tentang klasifikasi usia film. Mereka biasa-biasa saja jika ada anak-anak masuk menonton film dewasa bersama orangtuanya. 

Paling-paling saya hanya melihat sebuah salindia di layar bioskop berupa nasihat: TONTONLAH FILM SESUAI USIA ANDA. Lha, nasihat itu semestinya buat anak-anak dan tentu saja anak-anak tidak paham dengan pesan itu, apalagi menggunakan kata "Anda".

Sampailah pada suatu peristiwa berkait karena bidang yang saya tekuni adalah penulisan-penerbitan buku. Saya oleh Puskurbuk (Pusat Kurikulum dan Perbukuan) Kemendikbud dilibatkan dalam penyusunan regulasi perjenjangan buku yaitu klasifikasi buku berdasarkan kemampuan membaca dan usia pembaca. 

Ada kriteria yang ditetapkan mulai buku untuk balita hingga orang dewasa. Klasifikasi itu diwujudkan dengan kode warna pada kover buku. Regulasi sudah disiapkan, hanya belum diimplementasikan. Dasar hukumnya adalah UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.

Lalu, akhir November, saya diundang Lembaga Sensor Film (LSF) untuk menjadi narasumber dalam penulisan buku tentang sensor mandiri bagi insan perfilman atau pelaku perfilman. Nah, pucuk dicinta ulam pun tiba.

Sebagai orang yang kemudian ditunjuk untuk menuliskannya maka saya mulai masuk ke relung-relung konsep sensor mandiri ini. Ada produk hukum yang mendukung yaitu UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dan PP Nomor 18 Tahun 2014 tentang Sensor Film.

Terus terang saya baru menyadari apa yang terjadi dengan lembaga penyensoran film di Indonesia yang dulu dikenal dengan BSF (Badan Sensor Film). 

Namanya telah berubah menjadi LSF (Lembaga Sensor Film) sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yang membidangi kebudayaan. Paradigma LSF telah bergeser dari yang dulu kerap menggunakan "gunting" kini menjadi menggunakan "dialog".

 LSF tidak lagi serta merta menyensor adegan-adegan tidak patut di dalam film, termasuk iklan film, tetapi melakukan dialog dan memberi petunjuk kepada insan perfilman.

Maka dari itu, sebuah "tombol" di dalam diri harus dipencet atau diaktifkan yaitu 'sensor mandiri', baik oleh pembuat film, distributor film, ekshibitor, maupun masyarakat penonton. Ya, seperti saya ini, orangtua beraliran "sufi" (suka film) yang mesti menimbang-nimbang jika ingin menonton full team satu keluarga. Secara full team saya hanya dapat menonton film klasifikasi SU alias semua umur. Jika dengan anak sulung saya, minus adiknya, maka hanya dapat menonton film klasifikasi 13+.

Klasifikasi yang tidak pas, bahkan mungkin berbahaya bagi anak-anak adalah klasifikasi 17+ dan 21+. Pada klasifikasi ini adegan seks dan adegan kekerasan yang proporsional sekaligus kontekstual diperbolehkan. Jadi, untuk kategori ini saya hanya dapat menonton berdua bersama istri. Di televisi, klasifikasi film 21+ hanya boleh diputar mulai pukul 23.00 sampai dengan 03.00.

Tugas dari LSF menyusun buku tentang sensor mandiri membuat saya semakin sadar diri tentang pentingnya memilah dan memilih tontonan, terutama untuk anak-anak saya. Karena itu, cuplikan iklan film (trailer) atau teaser (cuplikan penggoda) sering saya intip terlebih dahulu, bahkan spoiler (bocoran), termasuk resensi film juga saya baca untuk menimbang tontonan. Berbeda lagi kalau saya menjadi insan perfilman---pilihan kata 'insan' untuk pelaku perfilman ini mulia sekali---, saya tentu akan mengaktifkan sensor mandiri sejak awal produksi.

Antara LSF dan pelaku perfilman mungkin saja ada perbedaan persepsi. LSF menganggap suatu film untuk 17+, tetapi boleh jadi produsernya menganggap itu untuk 13+. 

Nah, di sini diperlukan dialog untuk mencari titik temu, misalnya saran penyensoran terhadap adegan yang tidak patut untuk usia 13+. 

Anda pasti tahulah apa yang disebut tidak patut itu, di antaranya penistaan/pelecehan/penodaan yang menyangkut SARA, adegan menakutkan, pornografi dan penyimpangan seks, kekerasan (sadisme), dan inspirasi untuk melakukan perbuatan-perbuatan melanggar hukum.

Konteks sensor ternyata tidak hanya berlaku pada film, tetapi iklannya juga. Masih ingat kasus iklan film The Nun yang "diturunkan" dari Youtube pada Agustus 2018? Iklan itu diprotes oleh salah seorang warganet karena dianggap kelewat seram. 

Iklan itu menampilkan jump scare yang bukan hanya berbahaya untuk anak-anak, melainkan juga orang dewasa yang lemah jantung. Cuitan warganet itu sampai di-retweet hingga 100.000 orang. Alhasil, Youtube pun menghentikan penayangan teaser film itu.

Kita juga pasti terganggu ketika menonton film anak-anak di bioskop, pihak bioskop malah menayangkan trailer film-film dewasa sebelum film dimulai. Ini juga bagian dari sensor mandiri untuk pihak ekshibitor yang mempertunjukkan film. Iklan juga harus dimunculkan untuk target penonton yang pas. 

Jadi, Nak, ternyata memang harus ada sensor di antara kita. Misi luhurnya adalah demi ketahanan budaya untuk engkau pada masa mendatang, apalagi pada Zaman Kalabendu seperti saat ini. 

Apalagi, ayahmu juga mulai tergoda memiliki TV Android yang diberi bonus layanan video gratis selama beberapa bulan. Akses wifi yang dapat digunakan TV itu juga membuatmu mampu mengakses berbagai konten film di internet. Apa jadinya jika tidak ada sensor mandiri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun