Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Ternyata Ada Sensor di Antara Kita

1 November 2018   08:48 Diperbarui: 1 November 2018   15:07 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Erik Witsoe dalam Unsplash

Terus terang saya baru menyadari apa yang terjadi dengan lembaga penyensoran film di Indonesia yang dulu dikenal dengan BSF (Badan Sensor Film). 

Namanya telah berubah menjadi LSF (Lembaga Sensor Film) sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yang membidangi kebudayaan. Paradigma LSF telah bergeser dari yang dulu kerap menggunakan "gunting" kini menjadi menggunakan "dialog".

 LSF tidak lagi serta merta menyensor adegan-adegan tidak patut di dalam film, termasuk iklan film, tetapi melakukan dialog dan memberi petunjuk kepada insan perfilman.

Maka dari itu, sebuah "tombol" di dalam diri harus dipencet atau diaktifkan yaitu 'sensor mandiri', baik oleh pembuat film, distributor film, ekshibitor, maupun masyarakat penonton. Ya, seperti saya ini, orangtua beraliran "sufi" (suka film) yang mesti menimbang-nimbang jika ingin menonton full team satu keluarga. Secara full team saya hanya dapat menonton film klasifikasi SU alias semua umur. Jika dengan anak sulung saya, minus adiknya, maka hanya dapat menonton film klasifikasi 13+.

Klasifikasi yang tidak pas, bahkan mungkin berbahaya bagi anak-anak adalah klasifikasi 17+ dan 21+. Pada klasifikasi ini adegan seks dan adegan kekerasan yang proporsional sekaligus kontekstual diperbolehkan. Jadi, untuk kategori ini saya hanya dapat menonton berdua bersama istri. Di televisi, klasifikasi film 21+ hanya boleh diputar mulai pukul 23.00 sampai dengan 03.00.

Tugas dari LSF menyusun buku tentang sensor mandiri membuat saya semakin sadar diri tentang pentingnya memilah dan memilih tontonan, terutama untuk anak-anak saya. Karena itu, cuplikan iklan film (trailer) atau teaser (cuplikan penggoda) sering saya intip terlebih dahulu, bahkan spoiler (bocoran), termasuk resensi film juga saya baca untuk menimbang tontonan. Berbeda lagi kalau saya menjadi insan perfilman---pilihan kata 'insan' untuk pelaku perfilman ini mulia sekali---, saya tentu akan mengaktifkan sensor mandiri sejak awal produksi.

Antara LSF dan pelaku perfilman mungkin saja ada perbedaan persepsi. LSF menganggap suatu film untuk 17+, tetapi boleh jadi produsernya menganggap itu untuk 13+. 

Nah, di sini diperlukan dialog untuk mencari titik temu, misalnya saran penyensoran terhadap adegan yang tidak patut untuk usia 13+. 

Anda pasti tahulah apa yang disebut tidak patut itu, di antaranya penistaan/pelecehan/penodaan yang menyangkut SARA, adegan menakutkan, pornografi dan penyimpangan seks, kekerasan (sadisme), dan inspirasi untuk melakukan perbuatan-perbuatan melanggar hukum.

Konteks sensor ternyata tidak hanya berlaku pada film, tetapi iklannya juga. Masih ingat kasus iklan film The Nun yang "diturunkan" dari Youtube pada Agustus 2018? Iklan itu diprotes oleh salah seorang warganet karena dianggap kelewat seram. 

Iklan itu menampilkan jump scare yang bukan hanya berbahaya untuk anak-anak, melainkan juga orang dewasa yang lemah jantung. Cuitan warganet itu sampai di-retweet hingga 100.000 orang. Alhasil, Youtube pun menghentikan penayangan teaser film itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun