Tiba-tiba kata 'berantem' menjadi populer setelah pesan Presiden Jokowi untuk para relawannya menjadi viral. Lengkapnya ujarannya begini:
"Jangan bangun permusuhan, jangan membangun ujaran kebencian, jangan membangun fitnah-fitnah, tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang. Tapi, kalau diajak berantem, juga berani."
Ucapan itu disambut riuh tawa relawan. Jokowi lalu menimpali, "Tetapi jangan ngajak lho. Saya bilang tadi, tolong digarisbawahi. Jangan ngajak. Kalau diajak, tidak boleh takut."
Kata 'berantem' lantas ditafsirkan bermacam-macam, terutama oleh lawan politik Jokowi. Ada yang mengatakan itu diksi yang keliru atau tidak patut hingga menuntut Jokowi meminta maaf. Di sisi lain, sekutu Jokowi juga membela penggunaan diksi itu.
Seperti halnya Ketua DPP Hanura, Inas Nasrullah Zubir, yang meminta temannya di Demokrat untuk tidak baper dan belajar lagi bahasa Indonesia, terutama merujuk pada KBBI. Adalah Ferdinand Hutahaean, Kadiv Advokasi dan Bantuan Hukum Demokrat, yang melontarkan Jokowi harus meminta maaf.
Jika merujuk pada tata bahasa atau ejaan Bahasa Indonesia, apakah kata 'berantem' Pak Jokowi itu dimaksudkan sebagai ungkapan (bermakna konotasi) atau arti sebenarnya (denotasi)? Mari merujuk pada KBBI sesuai dengan anjuran Pak Inas.
Kata 'berantem' masuk di dalam ragam cakapan (tidak resmi) yang bermakna berkelahi; bertengkar; bertinju. Semua orang pasti mafhum hal ini.
Jadi, jangan cari di lema 'berantam' atau mengira bentuk bakunya adalah 'berantam'--ini artinya berbeda. Kata 'berantam' maknanya bersama-sama (beramai-ramai) melakukan suatu pekerjaan (seperti membeli barang). Karena itu, yang mengantre membeli ponsel baru ketika ada diskon pada peluncuran perdana, para pembelinya sedang berantam.
Jokowi mengajak berkelahi? Apa tidak boleh Presiden mengajak berkelahi? Tentu saja boleh untuk musuh dari negara lain, bukan dengan bangsa sendiri. Ini kan yang dipersoalkan tentang diksi tadi.
Namun, masalahnya jika menyelisik ucapan seseorang, tentulah harus diselisik juga konteksnya baru kontennya.
"... Tapi, kalau diajak berantem, juga berani." Ini konteks yang disampaikan Jokowi bahwa para relawan jangan melakukan tindakan-tindakan yang menjurus perbuatan tidak menyenangkan atau ujaran kebencian. Namun, jika ada yang sampai pada tahap mengajak berantem, harus berani alias jangan takut.
Yang ngajak siapa, yang berani siapa. Nah, di sini juga akan timbul perdebatan. Berani itu apakah berani melawan dan berkelahi atau berani menegakkan kebenaran? Sesuatu yang juga dapat ditafsirkan bermacam-macam. Hanya yang jelas konteksnya Jokowi tidak mengajak berkelahi, tetapi kalau ada yang mengajak, ya harus berani. Kalau takut, ya bakal kalah--lagi-lagi konteks persaingan politik menjelang pilpres. Itu saja sederhananya.
Apalagi, jika konteksnya dilarikan ke media sosial. Setiap hari mungkin saja ada yang selalu ngajak berantem. Berantem kata-kata minimal, lebih jauh berantem argumentasi. Bagi mereka yang "baper", berantem mudah sekali tersulut dan terwujud.
Ketika melihat siapa yang menyampaikan yaitu seorang presiden di hadapan para pendukungnya dalam suasana tidak formal maka tafsir juga harus logis. Apakah presiden memaklumkan perang untuk melawan bangsanya sendiri?
Alhasil, bahasa seseorang, apalagi tokoh terkenal sangat berpengaruh pada perasaan, baik perasaan yang memujanya, apalagi yang membencinya. Semua umumnya membawa perasaan, jarang sekali seturut pikiran. Karena itu, upaya memancing di air keruh tak pernah punah.
Jadi, daripada berantem soal 'berantem' mari kita 'berantam' menolong saudara-saudara kita, korban gempa di Lombok dan Bali. Diksi yang mereka perlukan dari kita kini adalah empati, simpati, peduli, dan aksi.[]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI