Yang ngajak siapa, yang berani siapa. Nah, di sini juga akan timbul perdebatan. Berani itu apakah berani melawan dan berkelahi atau berani menegakkan kebenaran? Sesuatu yang juga dapat ditafsirkan bermacam-macam. Hanya yang jelas konteksnya Jokowi tidak mengajak berkelahi, tetapi kalau ada yang mengajak, ya harus berani. Kalau takut, ya bakal kalah--lagi-lagi konteks persaingan politik menjelang pilpres. Itu saja sederhananya.
Apalagi, jika konteksnya dilarikan ke media sosial. Setiap hari mungkin saja ada yang selalu ngajak berantem. Berantem kata-kata minimal, lebih jauh berantem argumentasi. Bagi mereka yang "baper", berantem mudah sekali tersulut dan terwujud.
Ketika melihat siapa yang menyampaikan yaitu seorang presiden di hadapan para pendukungnya dalam suasana tidak formal maka tafsir juga harus logis. Apakah presiden memaklumkan perang untuk melawan bangsanya sendiri?
Alhasil, bahasa seseorang, apalagi tokoh terkenal sangat berpengaruh pada perasaan, baik perasaan yang memujanya, apalagi yang membencinya. Semua umumnya membawa perasaan, jarang sekali seturut pikiran. Karena itu, upaya memancing di air keruh tak pernah punah.
Jadi, daripada berantem soal 'berantem' mari kita 'berantam' menolong saudara-saudara kita, korban gempa di Lombok dan Bali. Diksi yang mereka perlukan dari kita kini adalah empati, simpati, peduli, dan aksi.[]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI