Musim Piala Dunia seperti sekarang ini, topik soal sepak bola sangat mendominasi. Bagaimana kalau sepak bola dihubungkan dengan membaca dan menulis?Â
Di Indonesia Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, S.J. atau populer dengan nama Sindhunata, sering menulis esai sepak bola dari perspektif yang unik dengan pendekatan kehidupan. Sindhunata seorang rohaniwan Katolik yang juga pernah menjadi wartawan Kompas ini lebih dikenal justru sebagai penulis, terutama mewarnai genre football writing di Indonesia. Ia juga bergiat dalam penulisan fiksi.
Tidak banyak orang di Indonesia yang menekuni penulisan sepak bola dengan serius seperti halnya Sindhunata. Namun, saya kadang juga menikmati esai-esai sepak bola yang ditulis Khrisna Pabichara atau Yusran Darmawan. Membaca tentang sepak bola bukan soal ingin tahu prediksi pemenang, skor, atau kegemilangan seorang pemain saja, melainkan juga dapat dikaitkan dengan banyak sisi kehidupan yang menarik.
Saya sendiri penggemar sepak bola "angin-anginan", tidak terlalu fanatik. Namun, berita-berita sepak bola tetap saya baca dan cerna.Â
Semasa rakus membaca majalah HAI tempo dulu, saya juga tidak melewatkan komik Roel Dijkstra yang berkisah tentang pesepak bola bernama Roel Dijkstra berkebangsaan Belanda. Komik dibuat oleh Jan Steeman dan Andrew Brandt, terinspirasi dari sosok Johan Cruijjf. Ini yang membuat saya sangat ngefans dengan Belanda. Sayang mereka tak lolos ke Rusia.
Beberapa biografi pesepak bola dunia juga saya baca. Tentu saya menikmati tulisan-tulisan tentang sepak bola yang ditulis secara apik, bukan sekadar jebret ....
Di luar negeri ada asosiasi tersendiri yang dibentuk para penulis sepak bola seperti Football Writers' Association yang didirikan tahun 1947 di Inggris. Asosiasi ini rutin memberikan penghargaan bergengsi untuk player of the year kepada pesepak bola di Liga Utama Inggris yang berprestasi. Tahun 2017-2018, penghargaan diberikan kepada Mohamed Salah (Liverpool).
Nah, itu soal penulis yang menulis tentang sepak bola. Bagaimana dengan pesepak bola yang justru menulis?
Frank Lampard, Pesepak Bola yang Juga Genius Menulis
Salah satu yang sangat populer adalah Frank Lampard. Pemain kelahiran Inggris ini sudah pensiun dari dunia sepak bola profesional. Lampard pernah bermain untuk West Ham United, Swansea City, Chelsea, Manchester City, dan terakhir di New York City. Ia beberapa kali memperkuat tim nasional Inggris hingga Piala Dunia 2014 di Brasil. Lampard menempati posisi gelandang dan disebut-sebut sebagai salah satu generasi pesepak bola terbaik di Inggris. Bersama klub yang dibelanya, ia menyabet beberapa kali gelar juara bergengsi.
Lampard ternyata juga seorang penulis buku anak. Ia menulis buku serial bertajuk Frankie's Magic Football. Di dalam buku ini Lampard berkisah tentang petualangan Frankie bersama teman-temannya dan anjing peliharaannya, Max. Ia mengatakan karakter-karakter di dalam bukunya dikembangkan dari watak teman-teman setimnya yang telah bersamanya bertahun-tahun (terutama di Chelsea).Â
Lampard menulis buku tersebut di sela-sela waktunya di rumah dan dalam perjalanan untuk mengikuti turnamen sepak bola. Ide bukunya diperoleh dari bacaan dua orang anak perempuannya. Ia berpikir mengapa tidak menuliskan petualangan tentang sepak bola, sesuatu yang dekat dengan kehidupannya dan sesuatu yang sangat dicintainya.
Sepak Bola sebagai Magnet Membaca
Di Inggris, sepak bola telah dijadikan "magnet" untuk meningkatkan kegemaran membaca. Ketika sebuah hasil survei menengarai bahwa anak-anak lelaki lebih enggan membaca dibandingkan anak perempuan, National Literacy Trust---sebuah lembaga amal independen di bidang literasi--- mengadakan program bernama Premier League Reading Stars. Program ini melibatkan para pemain Liga Utama Inggris untuk membaca bersama anak-anak. Program dimulai sejak 2003 dan berhasil menarik minat anak-anak, terutama anak lelaki untuk mau membaca.
Tahun 2014 saat berlangsung Piala Dunia 2014 di Brasil, National Literacy Trust (NLT) mengadakan kompetisi 'reading selfie'. Anak-anak ditantang untuk menampilkan foto mereka bersama bacaannya yang terkait Piala Dunia 2014, baik dari surat kabar maupun buku.
Ide kompetisi ini berawal dari program bertajuk National Literacy Trust's Love Football: Love Reading 2014. Â Program ini diwujudkan dengan penulisan cerita anak-anak oleh Tom Palmer. Cerita terdiri atas 24 bab yang disusun selama lima minggu saat berlangsungnya Piala Dunia. Setiap bab rata-rata panjangnya 700 kata, yang setara dengan ruang baca kelas lima hingga sepuluh menit.
Jadi, setiap hari anak-anak di sekolah menerima potongan-potongan cerita yang diedarkan sebelum pukul 8.00 pagi setiap hari kerja sepanjang turnamen berlangsung. Dengan demikian, dipastikan anak-anak sudah menerima cerita itu untuk dibaca siang hari. Â
Gila! Keren betul program ini. Lampard sendiri menjadi salah satu pendukung program ini dan menyatakan sepak bola itu memang selalu menarik buat anak-anak. Jonathan Douglas, Direktur National Literacy Trust, menyebutkan bahwa pengalaman telah menunjukkan kepada mereka betapa sepak bola sangat membantu untuk menarik minat anak-anak membaca.Â
***
Di Indonesia bagaimana? Ya, sepak bola tetap menarik, tetapi tentu saja tidak ada program-program literasi kreatif seperti di Inggris atau ada pesepak bolanya yang menulis buku anak. Tanya kenapa ....[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H