Fasih berbicara berapi-api menyampaikan dakwah, belum tentu mahir menulis. Inilah satu mata rantai dakwah kita yang lemah karena juga dapat menjadi ukuran intelektualitas seorang dai. Menulis berhubungan dengan kemampuan dan keseringannya membaca.
Soal membaca ini tidak dimungkiri kita masih sering menemukan dai-dai yang materi dakwahnya "tidak bergerak" alias monoton. Pengetahuan mereka seperti terkunci karena enggan membaca sehingga berputar-putar di situ saja. Jadi, ya boro-boro menulis.
Contoh kasus Ustad Abdul Somad, mengapa publik banyak terkesima? Ia memiliki kunci-kunci jawaban berbasis kitab, bukan hanya satu. Dai seperti ini memang jarang yang menjawab pertanyaan basisnya adalah kitab-kitab standar karya para ulama, di samping Quran dan hadis.
***
Jadi, tentang rencana MUI, saya setuju dan mendukung untuk memetakan kompetensi para dai, bukan sertifikasi. Peta ini juga berguna demi meningkatkan keterampilan para dai layaknya seorang intelektual dengan kemampuan membaca dan menulis yang mumpuni.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H