Jadi, isu pendaftaran hak cipta ini sudah muncul sejak lama. Sampai kemudian ada UUHC No. 28/2014, pencatatan hak cipta tidak ditegaskan sebagai keharusan atau kemutlakan mendapatkan perlindungan hak cipta.
Bahkan, Pasal 72 UUHC juga menyebutkan "Pencatatan Ciptaan atau produk Hak Terkait dalam daftar umum Ciptaan bukan merupakan pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari Ciptaan atau produk Hak Terkait yang dicatat."
Dengan demikian, mencatatkan ciptaan bersifat opsional. Penulis yang mencatatkan bukunya di Direktorat Kekayaan Intelektual tentu sah-sah saja. Untuk pencatatan tersebut, penulis harus membayar Rp400 ribu ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual yang merupakan PNBP (penerimaan negara bukan pajak).
Pernyataan bahwa buku wajib didaftarkan atau dicatatkan sebagai ciptaan tentu juga tidak benar. Apalagi, di kalangan akademisi persoalan ini sempat mencuat sehingga buku yang dianggap sah itu adalah yang memiliki surat pencatatan ciptaan.
Sekali lagi, surat pencatatan ciptaan berfungsi salah satunya sebagai alat bukti apabila terjadi sengketa hak cipta. Penyebutan pencipta dalam karya buku yaitu di kover buku dan di halaman keterangan penerbitan/hak cipta (imprint) sudah cukup menjadi pembuktian dan pelaksanaan hak moral seseorang disebut sebagai pencipta.
Meskipun suatu buku sudah memiliki surat pencatatan ciptaan bukan berarti buku tersebut terlepas dari unsur plagiat atau pelanggaran lainnya. Apabila pada suatu waktu buku tersebut digugat sebagai hasil plagiat dan dapat dibuktikan di pengadilan, pencatatan ciptaannya dihapuskan. Penulis yang terdaftar di surat pencatatan ciptaan tidak lagi mendapatkan perlindungan hak cipta atas karyanya. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H