Nah, Anda mungkin lain. Emosinya bukan karena rasa empati, apalagi simpati. Jangan-jangan karena antipati. Tapi, mungkin bukan Anda, mungkin yang kita persoalkan orang lain atau bahkan diri saya sendiri. Saya tidak sadar menuliskannya jadi menuduh Anda, padahal belum tentu juga saya dapat menulis dengan rasa empati dan simpati itu.
Namun, kalau mau bersetuju, pada awalnya kebanyakan kita di Kompasiana ini adalah penulis tanpa nama dan menulis tanpa bentuk. Â Demi nama dan demi kejelasan bentuk maka kita menulis dan terus menulis. Syarat yang terpenting adalah kita harus terus awas dengan kemampuan kita membaca dan menyimak.Â
Membaca dan menyimak, lalu menulis adalah "senjata" kita untuk berbicara. Jangan sampai setelah punya nama karena menulis, lalu Anda diundang talk show di televisi, Anda justru kehilangan bentuk diri Anda karena tak membaca dan tak mau juga menyimak.Â
Saya pun demikian adanya. Kadang terlena dengan enggan membaca dan enggan menyimak, tetapi terus saja pe-de menulis. Pada satu titik saya sadar dengan kekosongan benak dengan tidak membentuk apa pun dari apa yang saya tulis. Saya menulis sesuatu yang tidak saya pahami. Saya sendiri saja tidak paham, apalagi orang lain.
Demikianlah sekadar dongeng Jurus Tanpa Bentuk, Penulis Tanpa Nama. Tidak usah terlalu dipikirkan karena tulisan ini sejatinya juga tulisan tanpa bentuk. Saya kira esai, ternyata dongeng. Hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H