Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Hoax yang Lucu Tak Bermutu, tapi Jahat

2 September 2017   08:18 Diperbarui: 2 September 2017   10:10 2123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Oliur Rahman dalam Unsplash

Dulu ada semboyan sebuah produsen obat dari Jerman yang sangat terkenal: Bayer jaminan mutu. Pada zaman Kalabendu kini ketika hoax bermaharajalela maka bolehlah tersebut nama-nama yang menjadi jaminan mutu produksi hoax. Nama-nama itu dapat merepresentasikan perseorangan ataupun sebuah situs yang benar-benar digdaya dalam membuat, mengemas, serta mengedarkan hoax. Kalau Saracen, hoax-nya masih kurang bermutu--seperti kata Effendi Ghazali dalam ILC bertopik "Halal-Haram Saracen" bahwa cara memilih nama Saracen saja kurang bermutu.

Indonesia ini unik sekaligus lucu. Apa yang disebut barang bermutu itu dapat terbagi-bagi lagi, yaitu bermutu asli (alias original), bermutu nomor 1 (kwalitas atau KW1), bermutu nomor 2 (KW2), dan seterusnya. Pokoknya, semua bermutu meskipun kadarnya berbeda-beda; tidak ada yang tidak bermutu. Hoax pun demikian.

Sebagai sebuah produk, hoax melibatkan produsen dan konsumen, serta proses produksi yang memerlukan bahan baku. Para produsen memilih jalan hoax untuk motif ekonomi atau ideologi--tapi kebanyakan sih ekonomi. Mereka ibarat para pahlawan di medan pertempuran yang mendarmabaktikan jiwanya untuk SIAPA YANG MEMODALI. Mungkin karena itu nama-nama yang digunakan dalam jagat maya adalah nama-nama yang terkesan heroik sebagai jaminan mutu.

Masa sih, benar-benar ada orang-orang yang mendarmabaktikan hidupnya untuk hoax? Tentu saja ada karena hoax memang dapat menjadi tambang uang bagi si pembuatnya. Tidak ada makan siang yang gratis. Artinya, si pembuat hoax mendarmabaktikan hidupnya untuk produksi hoax bukannya tanpa pamrih.

Bahkan, usaha bercocok tanam hoax itu makin seksi ketika hoaxer tidak perlu memiliki keahlian khusus dalam bidang tulis-menulis--cukup mampu menciptakan judul bombastis yang dapat di-copy paste serta menulis berita dengan huruf kapital semua. Ia hanya perlu melek sedikit tentang literasi teknologi dan literasi media plus ditambah kenekatan untuk "menjual" kebebasan dirinya jika tertangkap. Jadi, hoax ini benar-benar hebat sekaligus jahat karena dapat tumbuh di dalam masyarakat berdaya literasi rendah dan berdaya literasi tinggi--tidak menjadi soal. Mengapa? Karena daya literasi tidak akan mampu menangkal hoax jika tidak diikuti dengan peningkatan akal budi.

Lihat saja apa yang terjadi di AS. Siapa sangka anak-anak muda di kota kecil Veles, Makedonia, adalah produsen hoax yang efektif memenangkan Trump dalam pilpres AS 2016 lalu? Mereka tidak kenal Trump, tetapi mereka tahu bahwa Trump dapat menjadi ladang uang bagi mereka karena populer sekaligus kontroversial. Lalu, dibuatlah situs-situs penyebar hoax yang menggambarkan Trump secara positif sehingga dimakan oleh para pemujanya di AS. Amerika Serikat itu kurang apa. Posisi mereka adalah nomor 7 dari riset tentang negara yang paling literat sejagat versi CCSU (Indonesia di urutan ke-60). Akan tetapi, mengapa mereka juga terpapar hoax?

Ini jelas-jelas lucu, apalagi Trump menjadi presiden menimbulkan rasa geli. Namun, di balik kegelian kita, tersimpan bahaya kemungkinan Trump menyulut Perang Dunia Ketiga. Serius?

Para hoaxer negeri ini memang tidak perlu belajar ke Veles, Makedonia untuk membuat hoax, apalagi mengikuti kursus dan mengambil sertifikasi hoaxer  lalu berhak menyandang gelar CMH (certified master hoaxer). Sama dengan AS, di Indonesia juga sedang terjadi krisis akal budi sehingga banyak nalar yang tumpul. Alhasil, hoaxer profesional dan amatir dapat hidup senang, tenang, dan berdampingan.  Kebencian dan taklid buta adalah katalis yang menjadi pemercepat berkembangnya hoax. Daya literasi tinggi, tetapi kebencian dan taklid buta masih merasuki diri, tak ada gunanya untuk menangkal hoax.

Komoditas Hoax

Posisi hoaxsebagai komoditas dapat kita lihat dari dua sisi. Pertama, hoaxadalah produk yang dibuat sendiri, lalu disebarkan. Keuntungan yang diraih adalah melalui iklan seperti yang dilakukan remaja-remaja di Veles, Makedonia. Kedua, hoax diposisikan sebagai produk jasa yang akan dikerjakan berdasarkan pesanan seperti yang ditengarai terjadi pada Saracen. Mereka dibayar oleh pihak tertentu untuk melakukannya. Di setiap hoax terdapat korban yang menjadi target hoax atau terdapat objek yang menjadi topik hoax. Contohnya, hoax kesehatan menggunakan objek penyakit atau sesuatu yang dikatakan dapat menjadi penyembuh.

Hoax agar menjadi jaminan mutu juga terkadang menggunakan nama-nama yang memiliki jenama (merek) sebagai jaminan mutu, baik itu orang ataupun lembaga/institusi. Karena itu, tidak jarang hoax dibuat dengan mengatasnamakan pakar, tokoh masyarakat, atau figur publik, juga nama-nama media atau lembaga pendidikan/riset terkenal. Semua itu demi pengelabuhan yang sukses. Contohnya, hoax tentang gempa bumi pasti selalu menyebutkan nama lembaga BMKG untuk meyakinkan. Sungguh ini jelas perbuatan yang sangat merugikan pribadi tertentu dan lembaga tertentu. Namun, bukan hoax namanya kalau tidak merugikan orang lain.

Dari sisi jenisnya maka ada hoax yang menguntungkan (hoax positif) dan hoax yang merugikan (hoax negatif) bagi subjek tertentu. Namun, kedua-keduanya sama-sama palsu dan bohong. Korban terbesarnya adalah masyarakat yang dibohongi sehingga turut menanggung dosa dari hoax-hoax tersebut karena ikut juga menyebarkan.

Para bloger atau para pegiat media sosial yang memiliki banyak pengikut rentan terhadap tawaran untuk memproduksi hoax, apalagi menjelang pilpres 2019 kelak. Perkubuan adalah ladang subur untuk menabur benih hoax yang kemudian dapat dimakan oleh siapa saja se-Indonesia, bahkan sedunia yang digerakkan oleh kebencian dan taklid buta meskipun berbalut kelucuan. Dengan potensi pengguna media sosial yang tinggi, Indonesia menjadi menarik sebagai ladang hoax. 

***

Kemenkominfo dan Divisi kejahatan siber Polri bakal dibuat lebih sibuk karena Saracen bolehlah dibilang masih dalam kadar ecek-ecek karena mutunya masih rendah--dapat dilihat juga dari kapasitas para pelaku yang tertangkap. Di sinilah diperlukan strategi dan kajian terhadap penangkalan hoax dari sisi pertahanan negara. Lho, kok serius banget?

Meskipun Bang Effendi Ghazali bilang jangan terlalu serius dan tegang menanggapi ancaman seperti hoax ini, tetap saja persebaran hoax dapat menjurus pada perang asimetris--perang tanpa alutsista. Apalagi, masyarakat Indonesia terkenal kreatif dalam soal melucu, membuat meme, atau menyikapi sesuatu (hiruk pikuk politik) secara santai--makanya film Warkop Reborn mencetak hits (apa hubungannya?). Di balik kelucuan-kelucuan itu tersimpan amunisi yang siap diledakkan seperti badut yang menyimpan kengerian di balik wajah jenakanya.

Saya ingat setelah Orde Baru tumbang, seorang tokoh mengenakan kaus bertuliskan Suharto (Sudah Harus Tobat). Ya itu contoh kelucuan di tengah ketegangan politik masa itu. Namun, kelucuan-kelucuan tidak serta merta menghilangkan bahaya. Betapa banyak hoax yang dibuat lucu dengan sindiran, tetapi tetap saja itu adalah kepalsuan yang menjebak. Soal kepalsuan ini sudah diungkapkan oleh Elvi Sukaesih empat puluh tahun lalu lewat lagunya Kepalsuan Jiwa (silakan meramban di Youtube). Selamat menyimak, hehehe.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun