Saya tergelitik membaca status Facebook pagi ini dari rekan saya penulis, Iqbal Aji Daryono. Ia yang rutin mengisi kolom di Detik.com itu akhirnya mengurungkan tulisannya tentang yang lagi ramai dibahas--siapa lagi kalau bukan Kaesang. Alasannya, ia tidak mau tulisannya malah menyiram kopi ke kantuk yang sudah selesai.... Kalau kata-kata terakhir itu versi saya. Saya membenarkan ia karena terkadang kita terlalu menghabiskan energi untuk menulis sesuatu yang sebenarnya sudah tidak perlu dibahas lagi karena ada yang lebih penting dari itu, misalnya soal anggota DPR yang mendatangi para koruptor ....Â
Tapi, saya malah menulis tentang (Kaesang) ini jadinya. Tidak bermaksud menyiram kopi tadi, lha saya nulis ini sambil menikmati kopi yang menyegarkan dan sisa kastangel lebaran yang masih ada bersanding remah-remah.
Hanya perlu waktu kurang dari tiga hari bagi polisi untuk menyelesaikan kasus laporan ujaran kebencian yang melibatkan Kaesang. Soal ini menjadi penting karena Kaesang anak presiden. Bandingkan jika pada masa Orba yang dilaporkan adalah Tommy Soeharto atau Bambang Tri Atmodjo atau masa sebelum Jokowi, yang dilaporkan adalah Edhie Baskoro. Ah, nggak usah dibayangkan karena jangan-jangan Anda belum lahir zaman itu.
Saya malah jadi tergelitik untuk menulis ini karena persoalan telah menjadi viral dan aneka tanggapan muncul dari mulai yang sederhana dan dangkal yaitu mempersoalkan diksi 'ndeso' sampai yang mikirnya terlalu jauh melebihi rencana pembangunan jangka panjang. Yang memberi komentar juga beragam dari pimpinan DPR sampai tukang ojek online. Lagi-lagi masalahnya karena Kaesang anak presiden, beda kalau anak lurah, pastilah tidak ada yang mau ngurusi.
Terus kalau anak presiden memangnya kenapa? Apa nggak boleh main vlog dan berpendapat, lalu menggunakan kata ndeso itu?Â
Tidak semua dari kita meskipun lahir dari keluarga yang menjunjung tata krama, tidak menyimpan diksi yang "kurang ajar (ledekan)", "makian", ataupun yang mengandung "kemarahan" dalam memori benak kita. Kita mendapatkannya kali pertama dari orang-orang terdekat. Bahkan, mungkin dari orangtua kita sendiri.
Para penghuni media sosial yang kerap mengeluarkan diksi tersebut (kurang ajar, makian, dan kemarahan) juga ada levelnya. Level masih dapat dimaklumi hingga level yang sudah membuat kita gerah membacanya, lalu menilai orang tersebut sebagai yang layak untuk di-unfollow atau unfriend. Coba saja kalau seperti ini keluar: bangsat, anjing, goblok, tolol, lonte, bajingan, gembel; atau yang berbau kedaerahan, seperti jancuk (Jatim), pukimak (Sumut), anjrit (Jabar).
Namun, kata-kata berkonotasi kurang ajar, makian, dan kemarahan itu juga harus dilihat dalam konteks bicara atau tulisannya. Ada yang digunakan malah untuk memuji; ada yang untuk menyatakan kelucuan; dan ada yang memang ditunjukkan untuk menghina dan marah pada seseorang, bahkan mengancam. Karena itu, polisi harus repot menggunakan ahli bahasa untuk mengecek sebuah diksi apakah menjadi ujaran kebencian atau malah sebaliknya, ujaran kesayangan.
Saya yang besar di Tebingtinggi Deli dan Medan (saya kira demikian juga dengan Pak MH yang melaporkan Kaesang), sudah kenyang dengan kata-kata makian yang beraneka rasa.
Beberapa kata makian malah dihaluskan, seperti pukimak (yang teramat kasar) menjadi pukilek. Ketika kuliah di Bandung, teman-teman yang memang dibesarkan di lingkungan menengah ke bawah terlalu sering menggunakan kata anjing saat mengomentari sesuatu. Kata itu kemudian "dihaluskan" menjadi anjrit. Anjing sia goblok... adalah satu rangkaian pilihan kata yang supermakian.
Ndeso yang digunakan Kaesang masuk kategori ledekan, tapi boleh juga menjadi hinaan. Lantas apa sama meledek dengan menghina? Ya, dirasa-rasa saja sendiri.
Dulu di layar kaca, Tukhul Arwana selalu melontarkan kata itu dan yang dikata-katai malah tertawa terpingkal-pingkal. Kata ndeso ya sama dengan kata kampungan dan kata udik, nilai rasanya dapat menjadi ledekan/ejekan (guyonan) atau hinaan bergantung konteks yang biasanya seorang ahli bahasa dapat menyelisiknya secara ilmiah. Tapi, bagi orang-orang awam seperti kita, yang terjadi seringnya salah tangkap atau miskomunikasi dan akhirnya muncul beragam interpretasi.
Saya menanggapi vlog Kaesang biasa saja seperti ia sedang berdendang dengan diksi ndeso itu. Ia sedang menanggapi fenomena sesuatu yang tidak disetujuinya.Â
Saya pun mungkin begitu di media sosial. Dulu saya sering juga menggunakan diksi yang asal muncul dari benak saya, tidak peduli orang akan tersinggung atau tidak. Tapi, sekarang saya sudah lebih bijak seperti Iqbal Aji Daryono itu soal diksi dan soal kepentingan untuk membahas sesuatu yang ditengarai malah bakal menyulut energi untuk berdebat.Â
Saya justru tertarik dengan pendapatan Kaesang sebagai Youtuber yang dibahas oleh portal Kumparan.com. Konon dapat juta-jutaan. Karena itu, nggak usah mikirin Kaesang yang ikut diboyong ke Jerman. Penghasilan dari Youtube-nya cukup untuk ia berpergian ke sana. Tapi, kita ini kalau nggak mikirin orang hidup memang terasa kurang meskipun ada yang menyindir bahwa kehidupan kita sendiri belum selesai--ya iyalah kalau selesai berarti di alam baka.
Sekali lagi saya cuma membahas diksi; tidak untuk menyulut aksi. Artikan saja senyum perempuan pada foto di atas. Ia sedang tersenyum menonton vlognya Kaesang. Dendeng Kaesang memang maknyus... eh salah, dendang Kaesang memang-memang.... Hehehe.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H