Memang para penulis yang sudah "jadi"  atau "setengah jadi" sering mendapat tawaran jalur lain yaitu menjadi buzzer ataupun menjadi pasukan digital untuk perseorangan atau untuk organisasi tertentu. Kepentingannya bermacam-macam seperti untuk promosi produk/jasa atau juga pencitraan. Terkadang tidak penting benar mereka yang direkrut dapat menulis dengan baik atau tidak karena ranah mereka adalah ranah digital di media sosial yang audiensinya beragam. Cukup mereka mampu menarik perhatian orang untuk membaca atau mengeklik tautan. Beberapa yang jagoan menulis akan diterjunkan untuk membentuk opini. Ini juga ranah para penulis jasa (bayaran), tetapi berpulang pada diri si penulis apakah pekerjaan itu sesuai dengan prinsip atau nilai-nilai yang dipegangnya atau tidak.Â
Bayangkan seorang buzzer diminta untuk menguatkan merek sebuah produk susu, padahal ia sendiri tidak suka minum susu. Namun, demi tuntutan profesi sebagai penulis jasa, ia pun akan "mengarang" cerita tentang susu adalah bagian dari hidupnya dan keluarganya. Kembali hal ini berpulang pada sang penulis sendiri terkait prinsip dan nilai-nilai yang dipegangnya--apakah ia cukup fleksibel untuk menerima pekerjaan menulis apa pun tanpa harus dikaitkan dengan pribadinya.
Jadi, kesimpulannya jalan kaya bagi para penulis itu terbentang lebar bergantung pada pilihan. Namun, tentu saja menempuh jalan itu harus dengan proses karena bagaimanapun menulis adalah pekerjaan yang terkait dengan pikiran, perasaan, seni, dan intuisi. Tidak semua orang berhasil melalui proses itu sehingga ia mencapai taraf menikmati pekerjaan menulis seperti pematung mengubah sebongkah batu gunung menjadi berbentuk sesuatu yang mencengangkan.Â
Penulis-penulis instan juga sebuah fenomena kini. Mereka lahir dari rahim kepraktisan dan kemalasan sehingga wajar jika tidak akan mencapai taraf menerima bayaran ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah hanya untuk satu lembar tulisan. Tidak pula, penulis instan itu, akan mencapai taraf tulisannya memiliki pengaruh begitu kuat sehingga ribuan, bahkan ratusan ribu orang menerimanya sebagai suatu kebenaran.Â
***
Kembali pada doa si penulis dan permohonan maafnya kepada Tuhan. Tulisan itu sejatinya adalah karya sekaligus amalan sehingga Tuhan akan memberi ganjaran ketika karya itu diniatkan untuk kemaslahatan. Tulisan-tulisan yang baik yang dialirkan sepanjang waktu oleh seorang penulis ada doa dan amal yang tiada terputus sehingga tidaklah perlu risau akan rezeki. Jadi, kita hanya perlu minta maaf kepada Tuhan ketika insaf dan tobat bahwa tulisan kita ternyata lebih banyak menyesatkan daripada mencerahkan. Namanya juga manusia, tak ada tulisan yang tak retak.
Salam Idulfitri![]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H