Ada dua persoalan yang mengungkung pikiran dan perasaan si penulis yang merasa belum atau tidak dapat kaya menurut saya.
Pertama, karena kapasitas si penulis memang tidak pernah bertambah dari tahun ke tahun. Ia tidak menambahnya karena ia juga tidak tahu tujuan menulis untuk apa. Â Bahkan, ia tidak dapat menjawab pertanyaan apa pentingnya ia mampu menulis dan dapat hidup dari menulis. Pada titik tertentu, ia malah tidak dapat menakar berapa sebenarnya harga karyanya yang pantas diberikan karena ia tidak mengenali dirinya sendiri sebagai penulis dengan sangat baik.
Kedua, karena si penulis terbatas pandangannya terhadap dunia tulis-menulis. Boleh jadi karena kapasitas menulisnya memang belum memadai atau ia hidup masih seperti katak di bawah tempurung.Â
Jadi, urusan menulis bukan soal menjadi penulis bayaran yang distir oleh pihak lain (yang membayar tentu saja) atau menjadi penulis independen yang bebas bersuara meski tidak dibayar. Di Kompasiana ini kita menulis tanpa bayaran, kecuali mengikuti sayembara dan beruntung menjadi juara. Dorongannya juga macam-macam. Ada yang demi eksistensi, ada juga yang demi menunaikan keinginan untuk berbagi, ada yang demi melatih diri, serta ada juga yang sekadar hobi atau kesenangan.
Jika seseorang mulai berfokus bahwa 'menulis' adalah jalan hidupnya atau panggilan jiwanya--bukan karena ia gagal di bidang lain dan menjadi pelarian--, kedua persoalan tadi harus menjadi perhatiannya. Ia harus membebaskan dirinya.
Ia harus memilih mau menjadi penulis spesialis atau penulis generalis mengingat begitu banyak ranah dan laras tulisan yang dapat ia masuki. Sebut saja ada ranah bisnis, ranah akademis, ranah jurnalistik, dan ranah sastra. Seorang penulis dapat saja bermain pada banyak ranah dan sah saja ia hanya memilih fokus pada satu ranah.
Panggilan jiwanya akan menentukan si penulis menyusun visi dan misi pribadi di bidang tulis-menulis. Berhitung dengan waktu, ia akan menetapkan suatu target dan mengenali apa yang menjadi kekuatan-kekuatan pendukungnya (driving force) untuk mencapai tujuan target tersebut. Ya, menjadi penulis atau profesi lainnya sama seperti mengelola 'perusahaan' yang berada dalam diri si penulis sendiri. Ia harus menunjukkan kemajuannya dari waktu ke waktu dan mengevaluasi diri apakah ia makin dekat dengan visi dan misinya atau malah makin menjauh.
Untuk soal kedua, ini terkait meluaskan pandangan tentang dunia tulis-menulis. Sering saya kemukakan bahwa tidak ada satu bidang pun di dunia ini yang dapat lepas dari tulis-menulis. Tulis-menulis tidak hanya terbatas pada media, baik itu media massa cetak, media massa elektronik, ataupun media buku. Produk tulisan dibutuhkan hampir semua bidang dan ingat bahwa tidak semua orang di bidang itu mampu untuk menulis.
Di sinilah kemudian seorang penulis harus berubah dari penulis mandiri menjadi penulis jasa. Penulis mandiri hanya menghasilkan karya mandiri untuk dirinya sendiri dengan mengirimkannya ke media, lalu menunggu dan syukur-syukur dapat diterima. Adapun penulis jasa akan memasarkan sekaligus menjual kemampuan untuk membantu orang lain atau organisasi, baik kecil maupun besar. Penulis jasa ini yang kemudian sering berperan sebagai penulis bayangan (ghost writer), penulis pendamping (co-writer), dan editor. Mereka tidak lagi perlu menunggu karyanya dimuat karena mereka bekerja untuk suatu karya yang memang akan dimuat atau dipublikasikan.Â
Seorang penulis untuk menjaga cash flow keuangan diri dan keluarganya dapat saja melakoni keduanya yaitu menjadi penulis mandiri sekaligus penulis jasa. Banyak contoh seperti ini yang sudah berhasil, hanya para penulis di jalur ini tidak terlalu ingin diekspose tentang pekerjaannya, apalagi pendapatannya. Mereka tetap berpegangan pada sifat sebagai makhluk soliter yang senang bekerja sendiri dan tanpa hiruk pikuk seperti penulis-penulis selebritas.
Penulis-penulis selebritas selain lahir karena ketekunan dan kegigihan mereka menghasilkan karya, umumnya di ranah fiksi, mereka juga sangat dekat dengan keberuntungan. Dari ribuan novel yang terbit di Indonesia, hanya 1% yang dapat mencuri perhatian atau kemudian difilmkan. Sisanya yang banyak itu tak bergema. Itulah mengapa jalur fiksi ibarat laut merah bagi para penulis; berdarah-darah mengarunginya.