Ada usaha penting yang perlu dilakukan para penulis pasca terbitnya UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan. Memang UU ini spesifik membahas soal perbukuan yang berarti lebih berimbas terhadap penulis buku (tidak penulis lain di luar buku), tetapi paling tidak eksistensi penulis buku telah resmi diakui negara dengan sebuah undang-undang. Usaha penting itu adalah membentuk organisasi penulis dan mulai menggalang "kekuatan" untuk berkontribusi pada kemajuan perbukuan Indonesia, setara dengan pelaku perbukuan lainnya.
UU No. 3/2017 menyebutkan ada sepuluh pelaku perbukuan, yaitu 1) penulis; 2) penerjemah; 3) penyadur; 4) editor; 5) ilustrator; 6) desainer buku; 7) penerbit; 8) pencetak; 9) toko buku; dan 10) pengembang buku elektronik. Penulis menjadi pelaku yang disebut kali pertama karena awal mula sebuah usaha penerbitan berlangsung adalah dari bahan baku naskah yang dibuat oleh penulis.
Ada dua pasal yang khusus membahas tentang hak dan kewajiban 'penulis', yaitu Pasal 13 dan Pasal 14. Pasal 13 berbunyi: "Penulis berhak: a) memiliki hak cipta atas naskah tulisannya; b) mengalihkan hak cipta atas naskah buku karangan atau tulisan yang dimiliki; c) memperoleh data dan informasi tentang tiras buku dan penjualan buku secara periodik dari penerbit; d) membentuk organisasi profesi; dan e) mendapat imbalan atas hak penerbitan naskah tulisannya."
Adapun Pasal 14 yang hanya terdiri atas dua ayat berbunyi: "Penulis berkewajiban: a) mencantumkan nama asli atau nama samara pada Naskah Buku; dan b) mempertanggungjawabakan karya yang ditulisnya." Jadi, tampak pasal-pasal tentang penulis ini adalah penegasan dari UU Hak Cipta dan juga perlindungan terhadap penulis sebagai pencipta karya tulis.
Terkait organisasi penulis, saat ini ada beberapa yang sudah berdiri, di antaranya Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia (Penpro) yang didirikan pada Desember 2016 dan satu lagi yang baru dibentuk tahun 2017 adalah Persatuan Penulis Indonesia (Satupena). Keberadaan organisasi penulis tentu dapat menjadi wadah untuk membina, mengembangkan, dan melindungi para penulis dalam konteks industri perbukuan nasional.
Kontribusi penulis sangat penting bagi industri perbukuan nasional, terutama dalam hal memunculkan kreativitas-kreativitas untuk menjawab kenginan dan kebutuhan masyarakat. Tanpa penulis yang baik, industri penerbitan bakal menemui ajalnya karena tidak mendapatkan pasokan naskah yang baik pula. Di sisi lain, penulis juga tidak dapat bertumbuh kembang di dalam ekosistem perbukuan secara individual.
Benar bahwa penulis itu makhluk soliter, tetapi untuk suatu kepentingan yang lebih besar, mereka sebagai 'artisan' harus bersatu. Para senior harus membimbing para junior. Begitupun 'persatuan penulis' ini akan menguatkan posisi tawar profesi ini dalam berhubungan dengan pihak lain. Ada kalanya penulis dengan karyanya tidak dihargai sebagaimana mestinya karena lemahnya kedudukan mereka sebagai individu.
Industri Buku yang Perlu Didukung
Industri buku kita sedang mengalami pertumbuhan yang stagnan meskipun di satu sisi buku-buku baru terus bermunculan. Hal ini dapat dirasakan dengan minimnya jumlah toko buku yang tersedia. Tidak semua mal ada toko bukunya, pun tidak semua pusat pertokoan di antaranya ada toko buku. Adanya buku di rak-rak minimarket juga bukan tren yang menggembirakan ketika melihat buku-buku yang dipajang adalah buku "tidak serius".
Banyak toko buku yang tutup, bahkan milik jejaring usaha yang besar seperti TGA atau Tiga Serangkai. Masalah utamanya pasti karena sepi pembeli. Lebih banyak pembeli stationary dibandingkan buku. Bahkan, jejaring toko buku terbesar pun harus mengubah sebutan tokonya yang tidak lagi menggunakan sebutan Toko Buku, tetapi Toko saja.
Buku-buku seperti kehilangan tempat untuk dipajang, didekatkan, dan dikenalkan kepada masyarakat secara langsung. Sebagiannya telah bermigrasi ke dunia maya atau dunia daring (online). Memang digitalisasi sedikit banyak berpengaruh terhadap pasar, tetapi tentu tidak untuk munculnya karya-karya tulis yang baik. Justru digitalisasi makin memudahkan banyak penulis berkarya dan akhirnya dari "rahim digital" itu muncul karya-karya buku best seller.
Dunia buku cetak akhirnya masih dalam tanda tanya bagaimana strategi menyelamatkannya, mengingat akan terjadi peralihan generasi dalam waktu tidak begitu lama lagi. Gen-X dan Gen-Y sebagai immigrant native yang sebagian besar telah menjadi orangtua saat ini masih menikmati buku cetak, termasuk juga Gen-Z yang belum terpapar digitalisasi. Namun, digital native akan segera tumbuh dan membesar, lalu ketika mereka sudah sangat terbiasa mengakses buku digital daripada buku cetak, hal ini tentu merisaukan.
Hanya ada satu cara yaitu buku cetak tetap diterbitkan sebanyak-banyaknya dan dibiasakan penggunaannya kepada Gen-Z berdampingan dengan produk digital yang menghiasi hidup mereka. Dengan demikian, buku cetak tidak lantas menjadi 'artefak' budaya, lalu kelak dianggap nostalgia seperti piringan hitam dan pita kaset di dalam industri musik. Lalu, bagaimana itu dapat terjadi ketika toko-toko buku tadi sudah tiada dan buku cetak makin sulit didapatkan di ranah publik?
Wajar jika campur tangan pemerintah diperlukan untuk menggerakkan kembali industri perbukuan Indonesia dengan regulasi yang pro terhadap pelaku perbukuan dengan mengembangkan utamanya buku cetak sekaligus buku digital. Bagi penulis sendiri sebenarnya tidak ada masalah mau cetak atau digital karena karya tulis dapat dibuat dengan media apa pun, termasuk dilebur menjadi film. Namun, tumbuh dan berkembangnya para penerbit buku tradisional akan memberi keuntungan bagi penulis daripada tidak ada penerbit sama sekali, terutama yang terjadi di banyak daerah---sering tidak ada penerbit buku di daerah.
Alhasil, masa depan penulis buku juga berkorelasi dengan tumbuh dan berkembangnya usaha penerbitan buku modern dengan tetap mempertahankan akar tradisionalnya menerbitkan buku cetak. Satu hal yang perlu dicatat dari persiapan menyambut berlakunya UU Sisbuk adalah pembinaan profesionalitas penulis buku untuk masuk dalam kancah industri perbukuan sebagai 'artisan' yang diperhitungkan.
Terus terang industri buku kita sudah sangat lama "mengabaikan" penulis sebagai 'artisan' yang memerlukan bimbingan, pembinaan, dan dukungan agar mereka dapat mencipta karya yang cemerlang. Seringnya penulis hanya diposisikan sebagai pemasok naskah, bahkan para pimpinan penerbit juga tidak mau tahu dan mau kenal dengan penulisnya sendiri (saking banyaknya), kecuali kemudian tiba-tiba bukunya menjadi best seller. Ikatan batin menjadi tidak ada atau semu, padahal itulah salah satu yang menjadi akar masa depan cerah bagi penerbit dan penulis itu sendiri ketika mereka secara bersama-sama bersinergi membangunnya.
Masa depan penulis buku mencerminkan juga masa depan kemajuan peradaban Indonesia berbasis pengetahuan. Tanpa ada penulis buku, pengetahuan-pengetahuan yang kita miliki akan punah. Tanpa ada penulis buku, 17.000 Islands of Imagination---yang pernah menjadi semboyan saat Indonesia ditunjuk sebagai tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015---takkan tertuliskan semuanya.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H