Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Memandang Masa Depan Penulis Buku di Indonesia

1 Juli 2017   08:32 Diperbarui: 1 Juli 2017   09:25 2111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Green Chameleon by Unsplash

Dunia buku cetak akhirnya masih dalam tanda tanya bagaimana strategi menyelamatkannya, mengingat akan terjadi peralihan generasi dalam waktu tidak begitu lama lagi. Gen-X dan Gen-Y sebagai immigrant native yang sebagian besar telah menjadi orangtua saat ini masih menikmati buku cetak, termasuk juga Gen-Z yang belum terpapar digitalisasi. Namun, digital native akan segera tumbuh dan membesar, lalu ketika mereka sudah sangat terbiasa mengakses buku digital daripada buku cetak, hal ini tentu merisaukan.

Hanya ada satu cara yaitu buku cetak tetap diterbitkan sebanyak-banyaknya dan dibiasakan penggunaannya kepada Gen-Z berdampingan dengan produk digital yang menghiasi hidup mereka. Dengan demikian, buku cetak tidak lantas menjadi 'artefak' budaya, lalu kelak dianggap nostalgia seperti piringan hitam dan pita kaset di dalam industri musik. Lalu, bagaimana itu dapat terjadi ketika toko-toko buku tadi sudah tiada dan buku cetak makin sulit didapatkan di ranah publik?

Wajar jika campur tangan pemerintah diperlukan untuk menggerakkan kembali industri perbukuan Indonesia dengan regulasi yang pro terhadap pelaku perbukuan dengan mengembangkan utamanya buku cetak sekaligus buku digital. Bagi penulis sendiri sebenarnya tidak ada masalah mau cetak atau digital karena karya tulis dapat dibuat dengan media apa pun, termasuk dilebur menjadi film. Namun, tumbuh dan berkembangnya para penerbit buku tradisional akan memberi keuntungan bagi penulis daripada tidak ada penerbit sama sekali, terutama yang terjadi di banyak daerah---sering tidak ada penerbit buku di daerah.

Alhasil, masa depan penulis buku juga berkorelasi dengan tumbuh dan berkembangnya usaha penerbitan buku modern dengan tetap mempertahankan akar tradisionalnya menerbitkan buku cetak. Satu hal yang perlu dicatat dari persiapan menyambut berlakunya UU Sisbuk adalah pembinaan profesionalitas penulis buku untuk masuk dalam kancah industri perbukuan sebagai 'artisan' yang diperhitungkan.

Terus terang industri buku kita sudah sangat lama "mengabaikan" penulis sebagai 'artisan' yang memerlukan bimbingan, pembinaan, dan dukungan agar mereka dapat mencipta karya yang cemerlang. Seringnya penulis hanya diposisikan sebagai pemasok naskah, bahkan para pimpinan penerbit juga tidak mau tahu dan mau kenal dengan penulisnya sendiri (saking banyaknya), kecuali kemudian tiba-tiba bukunya menjadi best seller. Ikatan batin menjadi tidak ada atau semu, padahal itulah salah satu yang menjadi akar masa depan cerah bagi penerbit dan penulis itu sendiri ketika mereka secara bersama-sama bersinergi membangunnya.

Masa depan penulis buku mencerminkan juga masa depan kemajuan peradaban Indonesia berbasis pengetahuan. Tanpa ada penulis buku, pengetahuan-pengetahuan yang kita miliki akan punah. Tanpa ada penulis buku, 17.000 Islands of Imagination---yang pernah menjadi semboyan saat Indonesia ditunjuk sebagai tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015---takkan tertuliskan semuanya.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun