Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Memandang Masa Depan Penulis Buku di Indonesia

1 Juli 2017   08:32 Diperbarui: 1 Juli 2017   09:25 2111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada usaha penting yang perlu dilakukan para penulis pasca terbitnya UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan. Memang UU ini spesifik membahas soal perbukuan yang berarti lebih berimbas terhadap penulis buku (tidak penulis lain di luar buku), tetapi paling tidak eksistensi penulis buku telah resmi diakui negara dengan sebuah undang-undang. Usaha penting itu adalah membentuk organisasi penulis dan mulai menggalang "kekuatan" untuk berkontribusi pada kemajuan perbukuan Indonesia, setara dengan pelaku perbukuan lainnya.

UU No. 3/2017 menyebutkan ada sepuluh pelaku perbukuan, yaitu 1) penulis; 2) penerjemah; 3) penyadur; 4) editor; 5) ilustrator; 6) desainer buku; 7) penerbit; 8) pencetak; 9) toko buku; dan 10) pengembang buku elektronik. Penulis menjadi pelaku yang disebut kali pertama karena awal mula sebuah usaha penerbitan berlangsung adalah dari bahan baku naskah yang dibuat oleh penulis.

Ada dua pasal yang khusus membahas tentang hak dan kewajiban 'penulis', yaitu Pasal 13 dan Pasal 14. Pasal 13 berbunyi: "Penulis berhak: a) memiliki hak cipta atas naskah tulisannya; b) mengalihkan hak cipta atas naskah buku karangan atau tulisan yang dimiliki; c) memperoleh data dan informasi tentang tiras buku dan penjualan buku secara periodik dari penerbit; d) membentuk organisasi profesi; dan e) mendapat imbalan atas hak penerbitan naskah tulisannya."

Adapun Pasal 14 yang hanya terdiri atas dua ayat berbunyi: "Penulis berkewajiban: a) mencantumkan nama asli atau nama samara pada Naskah Buku; dan b) mempertanggungjawabakan karya yang ditulisnya." Jadi, tampak pasal-pasal tentang penulis ini adalah penegasan dari UU Hak Cipta dan juga perlindungan terhadap penulis sebagai pencipta karya tulis.

Terkait organisasi penulis, saat ini ada beberapa yang sudah berdiri, di antaranya Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia (Penpro) yang didirikan pada Desember 2016 dan satu lagi yang baru dibentuk tahun 2017 adalah Persatuan Penulis Indonesia (Satupena). Keberadaan organisasi penulis tentu dapat menjadi wadah untuk membina, mengembangkan, dan melindungi para penulis dalam konteks industri perbukuan nasional.

Kontribusi penulis sangat penting bagi industri perbukuan nasional, terutama dalam hal memunculkan kreativitas-kreativitas untuk menjawab kenginan dan kebutuhan masyarakat. Tanpa penulis yang baik, industri penerbitan bakal menemui ajalnya karena tidak mendapatkan pasokan naskah yang baik pula. Di sisi lain, penulis juga tidak dapat bertumbuh kembang di dalam ekosistem perbukuan secara individual.

Benar bahwa penulis itu makhluk soliter, tetapi untuk suatu kepentingan yang lebih besar, mereka sebagai 'artisan' harus bersatu. Para senior harus membimbing para junior. Begitupun 'persatuan penulis' ini akan menguatkan posisi tawar profesi ini dalam berhubungan dengan pihak lain. Ada kalanya penulis dengan karyanya tidak dihargai sebagaimana mestinya karena lemahnya kedudukan mereka sebagai individu.

Industri Buku yang Perlu Didukung

Industri buku kita sedang mengalami pertumbuhan yang stagnan meskipun di satu sisi buku-buku baru terus bermunculan. Hal ini dapat dirasakan dengan minimnya jumlah toko buku yang tersedia. Tidak semua mal ada toko bukunya, pun tidak semua pusat pertokoan di antaranya ada toko buku. Adanya buku di rak-rak minimarket juga bukan tren yang menggembirakan ketika melihat buku-buku yang dipajang adalah buku "tidak serius".

Banyak toko buku yang tutup, bahkan milik jejaring usaha yang besar seperti TGA atau Tiga Serangkai. Masalah utamanya pasti karena sepi pembeli. Lebih banyak pembeli stationary dibandingkan buku. Bahkan, jejaring toko buku terbesar pun harus mengubah sebutan tokonya yang tidak lagi menggunakan sebutan Toko Buku, tetapi Toko saja.

Buku-buku seperti kehilangan tempat untuk dipajang, didekatkan, dan dikenalkan kepada masyarakat secara langsung. Sebagiannya telah bermigrasi ke dunia maya atau dunia daring (online). Memang digitalisasi sedikit banyak berpengaruh terhadap pasar, tetapi tentu tidak untuk munculnya karya-karya tulis yang baik. Justru digitalisasi makin memudahkan banyak penulis berkarya dan akhirnya dari "rahim digital" itu muncul karya-karya buku best seller.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun