Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kapasitas Menulis Bambang Tri dan Kita

11 Januari 2017   07:33 Diperbarui: 11 Januari 2017   13:31 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Jokowi Undercover yang ditulis Bambang Tri. Tribunnews.com

Lagi-lagi soal Bambang Tri. Diskusi hangat mampir juga di meja rapat Pengurus Pusat Asosiasi Penulis Profesional Indonesia (Penpro) yang baru berdiri Desember 2016 lalu. Diskusi terkait perkembangan wacana soal Bambang Tri yang hanya seorang lulusan SMA yang tak paham metodologi sehingga dianggap belum mumpuni menjadi seorang penulis buku, apalagi buku ilmiah populer. 

Selain itu, ada juga yang membanding-bandingkan soal penerbitan buku ini dengan Gurita dari Cikeas zaman SBY dan kubu SBY membalasnya dengan buku juga tanpa harus mempolisikan George Aditjondro. Merebak lagi kemudian pendapat bahwa pemerintahan Jokowi itu antikritik sehingga buku seperti Jokowi Undercover itu dihabisi riwayatnya, lalu penulisnya ditangkap. Memang sebuah isu selalu menjadi bola liar yang dapat ditendang oleh kaki siapa pun, apalagi ini menyangkut sebuah tulisan.

Mao Zedong, pemimpin besar Cina, pernah bilang bahwa ia lebih takut dengan buku daripada peluru. "Satu peluru hanya dapat menembus satu kepala musuh; tetapi satu buku dapat menembus jutaan kepala." Kekuatan sebuah buku memang selalu diwaspadai para penguasa. Lebih serius dari buku sebenarnya adalah kekuatan si artisan (pekerja kreatif) alias si penulis itu sendiri. Kedudukannya menjadi penting dan selalu dicari, terutama mereka yang punya kemampuan mumpuni. Para penulis sejak zaman dulu telah mendapatkan hak-hak istimewa seperti yang pernah diungkap Maman S. Mahayana dalam bukunya Pengarang Tidak Mati.

Namun, soal Bambang Tri memang tidak relevan dengan dia lulusan SMA atau tidak sehingga bukunya dianggap penuh kekacauan teknik menulis, sekaligus menimbulkan kekacauan konstelasi politik--walau hanya sedikit. Bahkan, lulusan S2 dan S3 pun masih ada yang tulisannya berantakan. Tahun 1990-an di Bandung munculnya juga gunjingan di antara para penulis ketika ada seorang penulis yang masih SMA, tetapi artikel-artikel opini politiknya sangat tajam. Muncul kecurigaan bukan ia yang menulis, tetapi ayahnya yang juga penulis. Jadi, memang wajar jika masih ada orang yang melihat kapasitas menulis dari latar belakang pendidikan formal seperti pendapat dari Polri soal Bambang Tri meskipun saya yakin dasar Polri juga tidak semata-mata itu, tetapi tadi bola liar cenderung sudah terpental ke mana-mana.

Saya pun berpendapat bahwa kapasitas menulis seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat atau latar pendidikan formalnya. Kapasitas menulis seseorang semestinya dapat diasah sejak SD ataupun setelah ia beranjak dewasa. Dalam hal ini, anak-anak pun dapat menulis sesuatu secara mengejutkan. Saya sendiri melatihkan menulis secara serius saat kali pertama mengenyam pendidikan tinggi bukan sejak kecil. Dalam tempo tiga tahun, kemampuan menulis itu terasah karena selama itu tulisan saya ditolak di mana-mana.

Hal yang sering dilupakan bahwa kapasitas menulis sangat berbanding lurus dengan kapasitas membaca. Mengutip paparan Prof. Mortimer Adler dalam buku klasiknya How to Read a Book bahwa keterampilan membaca itu ada empat. Pertama, membaca tingkat dasar yaitu kapasitas membaca permulaan seperti yang ada pada anak TK atau SD. Kedua, membaca cepat dan sistemastis juga kapasitas yang harus dimiliki para pelajar untuk menyerap informasi cepat dari sebuah bacaan. Ketiga, membaca analitis yaitu kemampuan membaca secara kritis hingga memerlukan waktu yang lama, biasanya dilakukan seorang periset untuk mengumpulkan informasi secara lengkap. Keempat, membaca sintopikal yaitu membaca sekian banyak bahan bacaan, lalu memunculkan karya baru. Para penulis seharusnya memiliki kapasitas sebagai pembaca analitis dan pembaca sintopikal.

Karya-karya Bambang Tri itu dapat dideteksi untuk mengungkap apakah ia seorang pembaca analitis atau sekaligus pembaca sintopikal? Penulis-penulis instan tidak lahir dari pembaca-pembaca jenis ini, kebanyakan adalah pembaca cepat atau bukan pembaca, tetapi pendengar yang kemudian asal menulis atau bak kata orang Sunda asal ngacapruk. Karena itu, Bambang Tri pun bukan hendak mengkritik dengan menulis buku heboh itu, melainkan menulis sesuka hati atau seenak udel-nya dengan maksud tertentu. Sensasi mudah sekali diraih untuk hal-hal seperti ini.

Selain soal kapasitas membaca, kehebatan menulis seseorang juga dapat ditelusuri dari siapa coach alias  guru pendampingnya. Dalam teori keberbakatan (Talent Code) yang ditulis Daniel Coyle bahwa bakat adalah keterampilan yang diulang-ulang, bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir. 

Namun, ada syarat sebuah keterampilan seperti menulis itu menjadi bakat. Pertama, ada ignition atau pengapian yang menyulut minat dan hasrat seseorang untuk menguasai sesuatu. Kedua, ada master coaching yaitu pendamping oleh seorang pakar atau "suhu" di bidangnya. Ketiga, ada deep practice yaitu pelatihan mendalam dan berulang. Keempat, itulah yang kemudian muncul sebagai bakat. Saya mencontohkan untuk hal ini seperti kisah dalam film Karate Kid atau Million Dollar Arm. Selalu ada coach yang berpengaruh di samping "orang-orang berbakat" itu. 

Siapa gurunya Bambang Tri dalam menulis? Ya, silakan ditelusuri. Belajar sendiri tanpa guru? Ya berarti sama saja dengan produk kursus yang bombastis, Anda boleh percaya boleh tidak, seseorang akan menjadi hebat dengan belajar tanpa guru. 

Begitupun dengan pelatihan mendalam, hanya seorang guru atau coach yang dapat mengarahkannya. Mengutip ucapan Morpheus dalam film The Matrix "There is a difference between knowing the path and walking the path." Tidaklah sama antara orang yang tahu jalan dan orang yang pernah menyusuri jalan itu. 

Tidaklah sama antara orang yang tahu menulis dan orang yang pernah menulis. Ini kaitannya dengan deep practice bahwa keberadaan seorang coach akan mendorong anak didiknya untuk berpraktik terus-menerus. Andaikan seseorang hanya belajar dari buku, dorongan praktik di dalam buku sering tidak pernah dilaksanakan. Itu sebabnya ada orang yang mengoleksi buku tentang menulis puluhan jumlahnya, sampai sekarang ia tidak mampu menulis.

Menguak soal kapasitas atau bahasa kerennya valensi (berasal dari bahasa Latin valentia yang bermakna kekuatan) memang menarik--seperti yang dibahas dalam buku Kubik Leadership. Valensi tidak terbangun secara parsial, misalnya, hanya dari pendidikan formal. 

Dalam kasus menulis, ada banyak elemen yang berpengaruh, di antaranya yang dapat saya sebutkan: kemampuan membaca, motivasi dan tujuan, peran guru atau coach, kedisiplinan berlatih, pengalaman, kuantitas karya, kualitas karya, penghargaan, kecepatan, dan banyak lagi. Valensi inilah yang menentukan bobot seorang penulis. Ketika di Asosiasi Penpro kami berdiskusi soal siapa yang pantas disebut penulis profesional dan apa definisi penulis profesional itu, beberapa pendapat muncul.

Profesional adalah sebuah kapasitas atau valensi dan tentu ada beberapa elemen pembentuknya. Demi membesarkan hati banyak para penulis yang minder jika ia belum mencapai taraf profesional setelah disebutkan beberapa indikator, cukuplah profesional itu dijadikan sebagai satu tekad dan tujuan untuk mencapainya. 

Hal yang ditanamkan bahwa profesional memang tidak dapat ditempuh dengan jalan instan, pasti memerlukan usaha dan kesungguhan untuk mencapainya. Tingkat profesionalitas seorang penulis pun ditentukan oleh valensi atau bobotnya. Itu sebabnya kualitas hasil, termasuk bayarannya juga berbeda-beda.

Jadi, ada banyak elemen yang mempengaruhi kapasitas menulis seseorang dan jika seseorang berkapasitas atau berbobot angka tertentu, nilai tertentu juga yang dapat dicapainya. Penulis-penulis informasi atau berita hoax itu tidak selalu orang yang berkapasitas rendah, ada bahkan yang berkapasitas tinggi dengan tujuan yang lebih canggih. 

Karena itu, antara tulisan hoax yang berbobot atau berdosis tinggi dan tulisan hoax berdosis rendah juga dapat dibedakan. Untuk masyarakat yang umumnya berkapasitas literasi media rendah seperti bangsa kita ini--karena malas membaca secara analitis, bahkan kurang membaca sama sekali--memang cukuplah digempur dengan hoax-hoax curah.

Lalu, bagaimana dengan kapasitas kita? Kita? Elo aja kali?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun