Tidaklah sama antara orang yang tahu menulis dan orang yang pernah menulis. Ini kaitannya dengan deep practice bahwa keberadaan seorang coach akan mendorong anak didiknya untuk berpraktik terus-menerus. Andaikan seseorang hanya belajar dari buku, dorongan praktik di dalam buku sering tidak pernah dilaksanakan. Itu sebabnya ada orang yang mengoleksi buku tentang menulis puluhan jumlahnya, sampai sekarang ia tidak mampu menulis.
Menguak soal kapasitas atau bahasa kerennya valensi (berasal dari bahasa Latin valentia yang bermakna kekuatan) memang menarik--seperti yang dibahas dalam buku Kubik Leadership. Valensi tidak terbangun secara parsial, misalnya, hanya dari pendidikan formal.Â
Dalam kasus menulis, ada banyak elemen yang berpengaruh, di antaranya yang dapat saya sebutkan: kemampuan membaca, motivasi dan tujuan, peran guru atau coach, kedisiplinan berlatih, pengalaman, kuantitas karya, kualitas karya, penghargaan, kecepatan, dan banyak lagi. Valensi inilah yang menentukan bobot seorang penulis. Ketika di Asosiasi Penpro kami berdiskusi soal siapa yang pantas disebut penulis profesional dan apa definisi penulis profesional itu, beberapa pendapat muncul.
Profesional adalah sebuah kapasitas atau valensi dan tentu ada beberapa elemen pembentuknya. Demi membesarkan hati banyak para penulis yang minder jika ia belum mencapai taraf profesional setelah disebutkan beberapa indikator, cukuplah profesional itu dijadikan sebagai satu tekad dan tujuan untuk mencapainya.Â
Hal yang ditanamkan bahwa profesional memang tidak dapat ditempuh dengan jalan instan, pasti memerlukan usaha dan kesungguhan untuk mencapainya. Tingkat profesionalitas seorang penulis pun ditentukan oleh valensi atau bobotnya. Itu sebabnya kualitas hasil, termasuk bayarannya juga berbeda-beda.
Jadi, ada banyak elemen yang mempengaruhi kapasitas menulis seseorang dan jika seseorang berkapasitas atau berbobot angka tertentu, nilai tertentu juga yang dapat dicapainya. Penulis-penulis informasi atau berita hoax itu tidak selalu orang yang berkapasitas rendah, ada bahkan yang berkapasitas tinggi dengan tujuan yang lebih canggih.Â
Karena itu, antara tulisan hoax yang berbobot atau berdosis tinggi dan tulisan hoax berdosis rendah juga dapat dibedakan. Untuk masyarakat yang umumnya berkapasitas literasi media rendah seperti bangsa kita ini--karena malas membaca secara analitis, bahkan kurang membaca sama sekali--memang cukuplah digempur dengan hoax-hoax curah.
Lalu, bagaimana dengan kapasitas kita? Kita? Elo aja kali?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H