Suatu siang di Pondok Indah Mall, saya lupa tanggal dan tahunnya, namun saya ingat betul janji bertemu dengan seseorang yang tidak asing lagi di dunia pelatihan dan penulisan. Dialah Andrias Harefa, penulis beberapa buku laris. Saat itu saya masih aktif berkiprah di lingkungan MQ Corp. sebagai Direktur MQS Publishing.
Jungkir balik saya dalam dunia penerbitan buku ternyata menarik minat Mas Andrias untuk bertemu dan mengobrol soal pelatihan penulisan.
“Apa benar bisa, Mas, menulis buku dilatihkan dalam beberapa hari?” tanyanya.
“Bisa, Mas. Saya sudah mencobanya,” jawab saya mantap.
Mungkin Mas Andrias menganggap saya bercanda kala itu. Saya lalu menyerahkan kepadanya materi pelatihan "Menggagas Buku H48H" yang merupakan singkatan dari hanya 48 halaman. Pelatihan itu kali pertama diselenggarakan Kolbu (Komunitas Lintas Buku)--sebuah lini di MQS--yang diikuti 20 orang peserta selama dua hari satu malam. Sebagian besar dari peserta adalah para trainer berbagai bidang.
Dengan suatu metode, saya menggegas para peserta untuk menulis buku sepanjang 48 halaman. Pada akhir pelatihan, hanya satu orang yang tidak berhasil menyelesaikan bukunya. Pelatihan ini hanya dua kali sempat diselenggarakan Kolbu, setelah itu tidak pernah sampai kemudian saya taklagi di MQ. Salah seorang peserta pelatihan ini adalah Mbak Anny Muryadi yang berhasil menulis buku tentang berlian.
***
Kisah itu sebagai pengantar bagaimana dunia buku secara tidak terduga menjadi alur kehidupan saya setelah lulus SMA. Saya ibaratkan sebagai canda sekaligus candu. Saya sebenarnya lulus SMA dari jurusan fisika dan sudah bercita-cita akan terjun ke dunia teknik—mengikuti jejak ayah saya.
Awalnya saya ingin berkuliah di Medan, tempat saya mengenyam pendidikan SMA. Namun, abang saya yang sudah lebih dulu bekerja di Bandung meminta saya hijrah. Kesempatan ke Bandung saya kuatkan dengan tekad masuk ITB melalui UMPTN. Namun, keraguan menyergap juga: Apakah saya mampu lolos UMPTN?
Tuhan seperti bercanda dengan saya tentang pilihan hidup. Sembari menanti hasil UMPTN, sebuah pengumuman terbaca di koridor Fakultas Sastra di Kampus Unpad. Isinya tentang dibukanya pendaftaran ujian masuk Prodi D-3 Fakultas Sastra Unpad. Satu prodi bertajuk Editing (Penyuntingan) menarik minat saya dan itu ada di Jurusan Bahasa Indonesia. Akhirnya, saya mendaftarkan diri demi berjaga-jaga jika gagal UMPTN. Saya tidak ingin sia-sia datang jauh-jauh.
Benar saja saya gagal masuk ITB, tetapi malah diterima di Prodi D-3 Editing Unpad. Itulah awal tujuan hidup saya berbelok drastis dari keinginan berkiprah di dunia teknik, malah masuk ke dunia bahasa dan sastra serta lebih khusus lagi dunia penerbitan. Untungnya masih ada bau-bau “teknik”-nya yaitu teknik menulis dan teknik menyunting. Itulah saya kira Tuhan sedang mencandai saya dengan pilihan ini bahwa takdir saya selanjutnya adalah menjadi tukang editor bukan tukang insinyur.