Ide lebih maju dari Bambang Sudibyo dilakukan Mendiknas Muhammad Nuh dengan mengambil momentum pemberlakuan K13. Buku pelajaran yang dinilai bukan lagi buatan penerbit swasta, melainkan secara ambisius dilakukan pemerintah sendiri.
Ide besar itu adalah pemerintah menjadi penerbit: merekrut penulis, melibatkan beberapa lembaga pendidikan untuk mengedit dan mendesain buku, lalu mencetaknya. Namanya newbie dalam dunia buku, takpelak ambisi ini keteteran juga dengan persiapan serba terburu-buru. Konteks (kemasannya) dikritik, konten penyajiannya juga tidak luput dari kritik, dan yang paling mengenaskan cetakannya terlambat.
Dengan berbesar hati Menteri Anies yang menjadi ahli waris kebijakan Mendiknas masa lalu menegaskan buku K13 yang sudah "telanjur sayang" dicetak jutaan eksemplar itu tetap dimanfaatkan. Buku cetak K13 versi pemerintah adalah "tragedi" yang harus disikapi dengan bijak. Buku K13 itu disimpan dulu bagi sekolah yang kembali menerapkan KTSP dan mungkin tahun depan (2016) dapat digunakan.
Bagaimanapun kebijakan Mendiknas Muhammad Nuh telak membawa industri buku pelajaran ke titik nadir. Pemerintah saat itu sudah mengambil alih peran penerbit sekaligus melarang keras sekolah-sekolah membeli buku pelajaran di luar yang sudah ditetapkan.
Tahun 2016 ....Â
Buku pelajaran K13 direvisi pemerintah. Kemendikbud kembali menyiapkan fail siap cetak dalam format PDF setelah buku itu disempurnakan. Kembali para penerbit dan pencetak dipersilakan untuk memperbanyaknya dan dibolehkan untuk menjualnya ke sekolah-sekolah. Pemerintah akan membeli buku cetak dengan dana BOS. Agar tidak terjadi kolusi dan korupsi, pemerintah pun menyiapkan langkah pembelian secara daring.
Penjualan Daring Mulai Bermasalah
Baru beberapa pekan berjalan setelah lebaran, seperti diberitakan Kompas, terjadi juga intervensi dinas pendidikan di daerah untuk mengarahkan pembelian buku kepada toko daring tertentu. Tercatat ada 10 toko daring yang diberi hak LKPP berdasarkan seleksi, yaitu PT Gramedia, PT Pesona Edu, PT Intan Pariwara, PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, PT Mulai Kencana Semesta, PT Jepe Press Media Utama, PT Temprina Media Grafika, PT Sarana Pancakarya Nusa, PT Masmedia Buana Pustaka, dan CV Cakrawala Harapan Jaya. Kesepuluh nama perusahaan itu adalah nama yang tidak asing dalam industri penerbitan buku dan percetakan di Tanah Air. Satu nama yaitu PT Pesona Edu adalah nama yang tidak asing dalam bisnis produk digital edukasi seperti perangkat lunak peraga pendidikan dan juga buku digital.Â
Wajar jika kesepuluh toko daring itu akan berpromosi habis-habisan demi mengarahkan pembelian buku ke toko mereka. Apalagi jika perusahaan mereka turut menjadi pencetak buku-buku itu. Perang bisnis layaknya antara BukaLapak, Tokopedia, dan Lazada pun terjadi.Â
Jelas ada risiko yang tidak ditanggung pemerintah yaitu jika buku tidak laku, pemerintah tidak punya kewajiban membayarnya. Semua terjadi atas mekanisme pasar melalui dana BOS ke sekolah-sekolah. Karena itu, memang tidak ada jaminan tidak akan terjadi "kerja sama" saling menguntungkan antara sekolah, dinas pendidikan, dan toko buku daring. Isu kolusi ini seperti ditengarai Kompas juga mengemuka.
Praktik pemberian rabat kepada sekolah dalam bisnis buku pelajaran sudah menjadi kelaziman berpuluh tahun. Memang disayangkan mengapa rabat itu tidak diberikan kepada pengguna yaitu peserta didik. Sekali lagi itu karena alasan kesejahteraan dan kemajuan sekolah. Sekolah yang memiliki wewenang menggunakan buku bersedia seolah-olah menjadi reseller penerbit dengan imbalan rabat.Â