Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa Kabar Gerakan Literasi Sekolah?

19 Juli 2016   11:22 Diperbarui: 19 Juli 2016   11:28 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Libur telah usai. Sekolah kembali berdaya dengan semangat para guru dan keriuhan peserta didik (siswa) menyambut pelajaran baru. Tentulah pemelajaran literasi masih aktual untuk diungkit pada tahun ajaran baru ini. Adalah Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang telah diluncurkan Kemdikbud Februari 2016. Implementasi nyatanya salah satunya melalui pembiasaan membaca selama 15 menit sebelum pemelajaran dimulai.

Sejatinya tahun ajaran baru 2016 menjadi tonggak pelaksanaan GLS secara menyeluruh diikuti berbagai strategi yang dilakukan sekolah untuk menciptakan lingkungan yang literat (istilah yang belakangan muncul). Namun, makna literasi sendiri tidak semua pendidik memahami secara utuh. Kata 'literasi' tidak termuat di Kamus Besar Bahasa Indonesia yang selalu menjadi rujukan. KBBI hanya memuat kata 'keberaksaraan' sebagai padanan literasi. Selain itu, kata yang berhubungan termuat adalah kata 'literator' bermakna ahli sastra atau penulis profesional serta 'literer' bermakna sesuatu yang berhubungan dengan menulis. Alhasil, secara sederhana 'literasi' disamakan dengan 'baca-tulis'.

LITERASI INFORMASI

Literasi sesungguhnya secara luas tidak hanya baca-tulis, tetapi dihimpun dalam induk besar yang bernama LITERASI INFORMASI seperti yang diungkap Brian Ferguson. Pada dasarnya literasi yang berhubungan dengan informasi terbagi atas LITERASI DASAR, LITERASI PERPUSTAKAAN, LITERASI TEKNOLOGI, dan LITERASI MEDIA. Gabungan Literasi Teknologi dan LIterasi Media menurunkan juga apa yang disebut Literasi Visual.

Literasi informasi didefinisikan: 

“Literasi informasi adalah kemampuan untuk mengetahui ketika ada kebutuhan informasi, serta untuk dapat mengidentifikasi, menemukan, mengevaluasi, dan efektif menggunakan informasi guna menghadapi isu atau masalah di depan mata. " (National Forum on Literacy Information)

Versi definisi lebih lengkap dicetuskan dalam Deklarasi Praha tahun 2003:

“Literasi informasi meliputi pengetahuan tentang perhatian seseorang terhadap informasi dan kebutuhannya, serta kemampuan untuk mengidentifikasi , menemukan , mengevaluasi , mengatur sekaligus efektif membuat, menggunakan, dan mengomunikasikan informasi untuk mengenali dan mengatasi masalah yang dihadapi; hal itu merupakan prasyarat untuk berpartisipasi dalam Masyarakat Informasi , dan merupakan bagian dari hak asasi belajar sepanjang hayat. "

Aktivitas di media sosial adalah salah satu cermin indikator tingkat kemelekan literasi informasi seseorang. Ada orang yang menggunakan gawai mahal, sebut saja seperti iPhone dan Samsung generasi terakhir, tetapi justru masih gagap menggunakan WA dan tidak paham menggunakan emoticon (sticker) yang berarti literasi teknologi dan literasi visualnya rendah. 

Kasus lain seorang pemasar produk atau jasa yang meminta pertemanan dengan banyak orang di media sosial, lalu tiba-tiba mengirimkan penawaran produknya, jelas itu sedikit banyak memengaruhi komunikasi. Sang pemasar disebut kurang memiliki kecerdasan literasi media. Jika ia juga tidak mampu menulis dengan baik, ia disebut tidak memiliki kecerdasan literasi dasar (membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara).

Di sini sebetulnya tugas para pendidik menggerakkan literasi di lingkungan sekolahnya sangatlah berat. Namun, memulai dari hal kecil sangatlah berguna seperti pembiasaan membaca selama 15 menit tadi sebagai literasi permulaan atau literasi dasar. Tentu dalam hal ini buku atau bahan bacaan yang disediakan juga harus terpilih dan terpenting disukai anak-anak apabila ingin menumbuhkan minat membaca.

SEKOLAH LITERAT

Amanat menyiapkan lingkungan sekolah yang literat dapat dilihat dari ciri yang ditetapkan Kemdikbud berikut ini:

  • menyenangkan dan ramah anak sehingga menumbuhkan semangat warganya dalam belajar;
  • semua warganya menunjukkan empati, peduli, dan menghargai sesama;
  • menumbuhkan semangat ingin tahu dan cinta pengetahuan;
  • memampukan warganya cakap berkomunikasi dan dapat berkontribusi pada lingkungan sosialnya; dan
  • mengakomodasi partisipasi seluruh warga dan lingkungan eksternal sekolah. (Kemdikbud, 2016)

Jadi, GLS memang gerakan partisipatif yang melibatkan seluruh komponen pendidikan. Kita sadari bangsa ini begitu terlambat menyadari keampuhan literasi. Masalahnya kita pun menghadapi zaman yang tidak mudah untuk mengampanyekan pentingnya literasi. Beberapa generasi telanjur lahir sebagai pribadi miskin literasi dan celakanya mereka menjadi pemimpin atau pesohor dengan banyak pengikut. 

Beberapa orangtua berpikir menjauhkan anaknya dari gawai, internet, dan televisi akan menyelamatkan pribadi sang anak. Mungkin saja ampuh untuk sementara melumpuhkan pengaruh buruk literasi rendah, tetapi seiring waktu berjalan anak akan menjadi pribadi yang mandiri. Ia tetap memerlukan asupan pendidikan literasi informasi untuk mampu bertahan sebagai penyintas pada zaman takjelas ini, termasuk literasi teknologi.

MENYIAPKAN GURU LITERASI

Alih-alih menggaungkan dan menyiapkan peserta didik yang memiliki kecanggihan literasi, kita pun bertanya tentang kesiapan guru-guru mengalirkan kecanggihan itu. Apakah guru-gurunya juga sudah menjadi guru-guru yang literat? Pengembangan dan peningkatan kapasitas guru di bidang literasi tentu sesuatu yang niscaya dilakukan. Paling tidak konsentrasi dan fokus dicurahkan kali pertama untuk literasi dasar.

Contohnya keterampilan MEMBACA. Apakah para guru telah memahami tingkatan membaca, seperti membaca tingkat dasar, membaca secara cepat dan sistematis, membaca secara analitis, dan membaca secara sintopikal (sebagai tingkat paling tinggi). Dalam hal MENULIS, apakah para guru telah memahami proses standar menulis, yaitu prewriting-drafting-revising-editing-publishing? Dalam hal MENYIMAK, apakah para guru telah memahami teknik-teknik mendengarkan untuk menghimpun informasi? Ya, banyak hal ternyata yang harus disiapkan.

Saya salut dengan upaya seorang pencinta literasi bernama Hernowo Hasim. Mas Her, begitu saya biasa memanggil, memberi pembimbingan dan pendampingan kepada para guru untuk mau dan mampu menjadi guru yang literat. Beliau memainkan jurus ampuhnya "mengikat makna" dan bagaimana mengajarkan membaca secara ngemil.

Sekali lagi tantangannya tidak mudah karena banyak guru yang enggan membaca, apalagi menulis--atau secara halus dapat disebutkan banyak guru yang tidak memiliki waktu untuk membaca dan menulis. Banyak guru yang justru tersesat di rimba literasi.

Apa kabar Gerakan Literasi Sekolah? Baik-baik saja karena saya tahu dan mendapatkan informasi beberapa sekolah, termasuk di kawasan terluar Indonesia bertarung secar heroik untuk menanamkan literasi kepada warga sekolahnya. Sekolah-sekolah yang berada di kota-kota besar juga takkalah heroiknya harus bertarung dengan kemewahan teknologi. 

Seperti kata Menteri Anies, teknologi di kota-kota besar bakal menjadi kemewahan, sedangkan teknologi di tempat-tempat terpencil menjadi sebuah kebutuhan. Kok seperti itu? Ya, karena di kota-kota besar masyarakatnya tidak akan pernah puas dengan teknologi dan selalu merasa tertinggal. Kita tidak akan pernah puas menemukan tempat tanpa fasilitas wi-fi, setelah itu tanpa internet cepat, dan setelah itu .... Kita mati gaya begitu "mati daya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun