Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa Kabar Gerakan Literasi Sekolah?

19 Juli 2016   11:22 Diperbarui: 19 Juli 2016   11:28 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

SEKOLAH LITERAT

Amanat menyiapkan lingkungan sekolah yang literat dapat dilihat dari ciri yang ditetapkan Kemdikbud berikut ini:

  • menyenangkan dan ramah anak sehingga menumbuhkan semangat warganya dalam belajar;
  • semua warganya menunjukkan empati, peduli, dan menghargai sesama;
  • menumbuhkan semangat ingin tahu dan cinta pengetahuan;
  • memampukan warganya cakap berkomunikasi dan dapat berkontribusi pada lingkungan sosialnya; dan
  • mengakomodasi partisipasi seluruh warga dan lingkungan eksternal sekolah. (Kemdikbud, 2016)

Jadi, GLS memang gerakan partisipatif yang melibatkan seluruh komponen pendidikan. Kita sadari bangsa ini begitu terlambat menyadari keampuhan literasi. Masalahnya kita pun menghadapi zaman yang tidak mudah untuk mengampanyekan pentingnya literasi. Beberapa generasi telanjur lahir sebagai pribadi miskin literasi dan celakanya mereka menjadi pemimpin atau pesohor dengan banyak pengikut. 

Beberapa orangtua berpikir menjauhkan anaknya dari gawai, internet, dan televisi akan menyelamatkan pribadi sang anak. Mungkin saja ampuh untuk sementara melumpuhkan pengaruh buruk literasi rendah, tetapi seiring waktu berjalan anak akan menjadi pribadi yang mandiri. Ia tetap memerlukan asupan pendidikan literasi informasi untuk mampu bertahan sebagai penyintas pada zaman takjelas ini, termasuk literasi teknologi.

MENYIAPKAN GURU LITERASI

Alih-alih menggaungkan dan menyiapkan peserta didik yang memiliki kecanggihan literasi, kita pun bertanya tentang kesiapan guru-guru mengalirkan kecanggihan itu. Apakah guru-gurunya juga sudah menjadi guru-guru yang literat? Pengembangan dan peningkatan kapasitas guru di bidang literasi tentu sesuatu yang niscaya dilakukan. Paling tidak konsentrasi dan fokus dicurahkan kali pertama untuk literasi dasar.

Contohnya keterampilan MEMBACA. Apakah para guru telah memahami tingkatan membaca, seperti membaca tingkat dasar, membaca secara cepat dan sistematis, membaca secara analitis, dan membaca secara sintopikal (sebagai tingkat paling tinggi). Dalam hal MENULIS, apakah para guru telah memahami proses standar menulis, yaitu prewriting-drafting-revising-editing-publishing? Dalam hal MENYIMAK, apakah para guru telah memahami teknik-teknik mendengarkan untuk menghimpun informasi? Ya, banyak hal ternyata yang harus disiapkan.

Saya salut dengan upaya seorang pencinta literasi bernama Hernowo Hasim. Mas Her, begitu saya biasa memanggil, memberi pembimbingan dan pendampingan kepada para guru untuk mau dan mampu menjadi guru yang literat. Beliau memainkan jurus ampuhnya "mengikat makna" dan bagaimana mengajarkan membaca secara ngemil.

Sekali lagi tantangannya tidak mudah karena banyak guru yang enggan membaca, apalagi menulis--atau secara halus dapat disebutkan banyak guru yang tidak memiliki waktu untuk membaca dan menulis. Banyak guru yang justru tersesat di rimba literasi.

Apa kabar Gerakan Literasi Sekolah? Baik-baik saja karena saya tahu dan mendapatkan informasi beberapa sekolah, termasuk di kawasan terluar Indonesia bertarung secar heroik untuk menanamkan literasi kepada warga sekolahnya. Sekolah-sekolah yang berada di kota-kota besar juga takkalah heroiknya harus bertarung dengan kemewahan teknologi. 

Seperti kata Menteri Anies, teknologi di kota-kota besar bakal menjadi kemewahan, sedangkan teknologi di tempat-tempat terpencil menjadi sebuah kebutuhan. Kok seperti itu? Ya, karena di kota-kota besar masyarakatnya tidak akan pernah puas dengan teknologi dan selalu merasa tertinggal. Kita tidak akan pernah puas menemukan tempat tanpa fasilitas wi-fi, setelah itu tanpa internet cepat, dan setelah itu .... Kita mati gaya begitu "mati daya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun