Beberapa waktu lalu saya menerima pertemanan dari seorang pemilik akun bernama Bob Merdeka. Di profilnya terpampang label Founder of Maicih & Tiens Distributor. Satu hal yang membuat tidak asing dalam benak saya adalah jenama Maicih. Siapa yang tidak mengenal produk keripik singkong pedas yang tersohor itu di Bandung hingga ke seluruh Indonesia?Â
Setelah saya menerima pertemanannya, ia meninggalkan pesan di kotak surat saya. Perbincangan pun dilanjutkan melalui rumpi (chat) di WA dan BBM.
Saya tidak mencari tahu lebih banyak tentang Bob Merdeka yang bernama asli Dimas Ginanjar Merdeka itu. Ia ingin berjumpa saya untuk bersilaturahmi. Kami lalu berjanji temu di resto Padang, Sederhana Pasteur, Bandung, tetapi ternyata masih tutup pada hari keempat lebaran. Lalu, tempat pertemuan dipindahkan ke Warung Wastu di Jalan Wastukencana. Ia telah menanti bersama istri dan putranya yang baru berusia tiga tahun. Saya sendiri didrop oleh istri yang enggan bergabung karena hendak berburu bakso.
Setelah berjumpa dan berbasa basi sejenak, Bang Bob (sapaan akrabnya) ternyata menawarkan saya untuk terlibat memasarkan produk kesehatan Tianshi, jejaring bisnis MLM yang telah lama berkiprah di Indonesia. Saya tidak terlalu terkejut dengan urusan MLM, sejak kuliah juga sudah dikenalkan dengan Amway dan juga saat masih aktif di MQ sempat membantu penerbitan bos MLM dari HD. Urusan saya jelas lebih fokus pada tulis-menulis dan buku, tidak bersentuhan langsung dengan bisnis lain di luar kompetensi saya. Itu sudah saya kemukakan pada Bob. Namun, Bob bilang tidak mengapa yang penting dapat bersilaturahmi sebagai pembuka jalan rezeki.Â
Walau begitu, insting menulis saya tetap jalan sehingga saya anggap pertemuan itu juga silaturahmi yang dapat saya gunakan untuk menulis sesuatu tentang Bob atau Maicih. Hasilnya saya publikasikan di Kompasiana ini. Meskipun mungkin banyak di antara pembaca yang sudah membaca kisah Maicih dalam versi lain. Bahkan, di Kompasiana juga ada beberapa tulisan tentang fenomena Maicih. Namun, saya kira ini kisah paling terkini soal bisnis Maicih. Mengapa? Saya bersua sang Founder tepat ketika bisnisnya menginjak usia ke-6 pada Juni lalu.
Kalau di-googling memang paling banyak muncul kisah tentang Reza Nurhilman sebagai Presiden Maicih yang juga sudah menulis buku bertajuk Revolusi Pedas Sang Presiden Maicih yang diterbitkan Gramedia. Reza dan Bob masih saudara kandung. Bob anak pertama yang kala itu membuka usaha keripik singkong ini sebagai usaha keluarga dengan mendirikan CV Maicih. Usaha keluarga ini kemudian pecah karena berbeda visi dan konsep. Bob kemudian bahu membahu bersama istrinya mengembangkan Maicih versi logo menghadap ke depan dan Reza bersama kakaknya nomor 2, Arie mengembangkan keripik Maicih dengan versi awal yaitu logo menghadap ke samping.
Saya sudah sering bersua para pengusaha, tetapi umumnya yang sudah senior. Saat ini saya lagi menggarap autobiografi dua pengusaha. Satu pengusaha hotel dari Samarinda, Kaltim dan satu lagi pengusaha besar asal Sumatera Utara yaitu H. Anif. Semua pengusaha itu memiliki alur kisah menarik tentang bagaimana mereka merintis usahanya. Secara tidak langsung saya belajar banyak dari kisah mereka sembari menuliskannya. Begitu pula lewat perbincangan singkat dengan Bob sebagai pengusaha muda yang memiliki ide kreatif.
Saya sempat melontarkan beberapa pertanyaan kepada Bob dan istrinya bagaimana mereka membangun bisnisnya. Kisah pecahnya dua Maicih ini baru belakangan saya ketahui ketika hendak menuliskan artikel ini. Biasa, pasti saya akan melakukan tinjauan pustaka lebih dulu untuk melengkapi tulisan agar tidak keliru informasi.
Usia Bob ketika saya tanya kini menginjak 31 tahun, berarti ia telah merintis bisnis keripik singkong Maicih sejak usia 25 tahun pada 2010. Di Linkedin saya lihat foto rapat evaluasi mereka dalam tahapan memasuki usia keenam pada Juni lalu. Kini Maicih sebagai industri skala menengah telah memiliki 40 orang karyawan.
Tipikal keberhasilan Bob sebagai pengusaha muda sudah terlihat. Ia punya tunggangan Mini Cooper. Karena itu, saya paham jika ia menyebutkan ikut mengembangkan bisnis MLM hanya sebagai ikhtiar lain karena juga tidak sengaja. Istrinya yang menderita maag menggunakan obat dari Tianshi itu dan manjur. Ia yang tertarik dalam hal motivasi dan juga berbagi kepada banyak orang merasa nyaman dengan bisnis jejaring ini yang juga memiliki sertifikasi syariah. Bisnis ini menjadi sampingan karena dari Maicih dalam ukurannya, penghasilan yang ia peroleh sudah lebih dari cukup.
Apakah Bob pernah mengalami jatuh bangun dalam bisnisnya? Pernah. Ia berkisah saat tergiur mengembangkan bisnis untuk menaikkan pendapatan. Karena itu, ia memanfaatkan pinjaman bank untuk mendirikan usaha rumah makan Maicih. Rumah makan yang awal buka tahun 2014 dijubeli pembeli itu gagal total karena muncul masalah dalam manajemen pelayanan. Rumah makan yang mengontrak tempat di Jalan Soka itu pun tutup dan meninggalkan utang. Namun, Bob dan istrinya memandang lebih luas pada sisi religiositas bahwa kegagalan mereka karena tergoda menggunakan dana yang mengandung riba. Itu menjadi pelajaran berharga bagi mereka untuk bangkit kembali dan fokus pada pengembangan produk Maicih serta tidak akan menggunakan dana dari utang.
Lalu saya bertanya, "Apakah kapok untuk berbisnis rumah makan?"
"TIdak, Pak. Kami berdua ini tukang makan. Kami akan coba lagi nanti  jika saatnya tiba," jawab Bob penuh keyakinan, "Kami hanya kapok gunakan dana pinjaman!" lanjutnya.
Berbeda dengan kisah yang saya temukan di internet, awal mula bisnis keripik ini karena Bob dan istrinya yang telah berteman sejak SMP memang dikenal senang makan keripik singkong pedas. Dua sahabat akrab yang kemudian menjadi sejoli ini selalu berburu keripik singkong pedas sebagai camilan dengan rasa yang menurut mereka pantas. Saat menikah, mereka ingat nostalgia memakan kripik pedas hingga kemudian berburu ke beberapa tempat penjualan keripik di Bandung, termasuk mereka pernah temukan di belakang Gramedia Jalan Merdeka. Dari situ muncul ide bisnis menjual keripik singkong pedas karena "objeknya" memang sulit ditemukan. Beberapa yang ditemukan, rasanya tidak memenuhi tingkat selera pada lidah mereka yang sudah fasih dengan rasa enak ini. Daripada susah, coba buat sendiri saja dan dijual. Begitu pikir mereka.
Kebetulan ada tante mereka yang paham soal masakan sehingga memberikan saran tentang bumbu. Mulailah dilakukan ujicoba menggunakan bumbu keripik singkong. Try and error.
"Jadi, pas pertama berproduksi, rasa keripik Maicih itu bisa berubah-ubah, Pak. Soalnya serba coba-coba." jelas sang istri sambil tersenyum mengenang saat-saat awal mereka berusaha.
Soal level kepedasan juga menjadi cerita tersendiri. Harus diakui bahwa Maicih-lah yang menjadi pioner penggunaan level kepedasan dalam makanan. Awalnya juga tidak disengaja. Ada reseller yang menanyakan mengapa produk yang sekarang lebih pedas daripada produk yang sebelumnya. Tidak kehilangan akal untuk menjawab, secara kreatif akhirnya mereka mengatakan itu berbeda level kepedasan. Dari sanalah ide membuat level itu dimaklumkan. Begitupun soal resep Maicih mulai distandardisasi, termasuk takaran bumbu. Perlu beberapa tahun untuk melakukannya menjadi standar jelas Bob.
Kini Maicih sebagai produsen makanan yang pasar besarnya sebagai produk oleh-oleh telah memiliki 13 varian produk. Salah satu varian dihadiahkan kepada saya sebagai oleh-oleh yaitu batagor instan. Kelebihan produk ini minus bahan pengawet sehingga ketahanannya hanya satu tahun, tetapi tentu aman sebagai makanan.Â
"Pengawetnya dari rempah-rempah saja, Pak. Produk ini juga mulai berkembang memberikan kontribusi pendapatan signifikan di samping keripik singkong," ujar Bob.
Lantas apakah kedua suami istri yang kompak ini memang punya latar belakang pengetahuan makanan?Â
"Tidak, Pak. Kami hanya senang makan. Dan kami tipikal yang setia kalau sudah menemukan tempat makan yang enak," kata Bob lagi yang belatar belakang pendidikan Administrasi Niaga dari Unpar ini. Bob putra Sunda yang sangat menggemari masakan Padang. Sebaliknya, istrinya yang punya darah Minang malah menggemari masakan Sunda.Â
Perbincangan saya dengan Bob dan istrinya singkat saja, tidak sampai satu jam. Saya mengagumi tipikal pengusaha muda suami-istri ini yang membangun bisnisnya memang dari renjana (passion). Terlihat seperti kebetulan, tetapi kemudian benar-benar menjadi serius. Mereka juga mampu mengusung ide-ide kreatif mulai soal pengemasan, desain produk, hingga pada pola pemasaran. Bagaimana dengan pesaing? Jelas mereka memilikinya yang head to head adalah keripik berjenama Karuhun. Namun, itu dianggap sebagai sesuatu yang alamiah dalam bisnis dan Maicih akan terus konsisten mengembangkan produk, meningkatkan kualitas produk, serta layanan pemasarannya secara kreatif.
Bob dan Maicihnya beruntung menikmati "berkah" dari media sosial seperti Twitter pada saat mulai populer di Indonesia. Artinya, Bob dapat lebih awal membaca keampuhan media sosial itu untuk berjualan. Bob juga punya nilai-nilai tersendiri dalam menjalankan bisnis, termasuk tidak mau berkompromi soal kualitas rendah dan pengembangan yang berproses. Benturan nilai-nilai ini juga yang menyebabkan adanya episode "Maicih Jadi Dua". Tidak ada yang palsu, semuanya asli, hanya berbeda jalan produksi dan jalan bisnis.
Bob juga punya kecenderungan terhadap pengembangan budaya lokal, termasuk menghadirkan sosok fiktif Maicih sebagai sosok tradisional yang bersahaja, tetapi mengenalkan dirinya dengan cara modern. Ini bentuk kreativitas anak muda, termasuk soal kepedulian Bob yang meluncurkan program 1 Coin 1 Leaf sebagai program sosial dan pelestarian lingkungan sehingga membuat jenama Maicih makin lekat di hati.
Sekali lagi urusan saya urusan tulis-menulis. Jadi, pertemuan dengan Bob, sang Founder Maicih, langsung saja saya tuliskan di sini. Tidak ada yang sia-sia dalam silaturahmi itu. Namun, saya memang tidak bertemu tokoh fiktif Maicih untuk diwawancarai--perempuan tua berciput yang diasosiasikan sebagai nenek penuh keramahan terhadap cucu-cucunya. Mungkin suatu saat tokoh itu akan muncul dalam bentuk buku cerita bergambar untuk anak yang dapat saya kerja samakan dengan Bob sekaligus menghidupkannya dalam multimedia animasi. Lha, itulah pikiran penulis seperti saya. Istri Bob sempat menyentil rencana menulis buku. Bob mengiyakan meski tampaknya belum ada persiapan ke arah sana.
Pertemuan siang itu berakhir dengan saling berjabat tangan. Saya bergegas menaiki angkot menuju arah Gunung Batu, Cimahi. Kemacetan arus balik sudah terasa di daerah Pasteur, terutama di deretan toko-toko yang menjual oleh-oleh. Mobil-mobil silih berganti memarkirkan kendaraan untuk membawa buah tangan. Tampak oleh saya produk keripik pedas Maicih telah menjadi ikon oleh-oleh di setiap toko. Wajah Maicih yang teduh sejatinya menyimpan kepedasan beberapa level. Hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H