Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengakhiri Tragedi Nol Buku

11 Januari 2016   18:19 Diperbarui: 12 Januari 2016   15:20 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah muram yang banyak memakan "korban" pernah diutarakan sastrawan kawakan, Taufiq Ismail. Indonesia mengalami tragedi nol buku. Di dalam kurikulum tidak lagi tersurat kewajiban membaca buku dalam jumlah tertentu.

Tragedi itu digambarkan sangat dramatis. Terjadi berpuluh tahun sehingga membuat sebagian besar lulusan sekolah (dasar dan menengah) tidak memiliki kepekaan keberaksaraan, termasuk lulusan perguruan tinggi.

Bahasa keren keberaksaraan adalah literasi meskipun kata ini tidak menjadi lema di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Literasi sejatinya bukan hanya soal baca-tulis. Hasan Alwi, mantan kepala Pusat Bahasa, menjelaskan bahwa "Dalam pengertian luas, keberaksaraan mengacu pada tingkat kecendekiaan seseorang dalam memahami, mengolah, dan mengembangkan sejumlah konsep dasar yang dihadapinya dalam kehidupan" ("Sastra dan Tingkat Keberaksaraan" dalam Sarumpaet, 2002, Sastra Masuk Sekolah).

Dalam Deklarasi Praha tahun 2003 yang diikuti oleh 23 negara (minus Indonesia) tercetus pentingnya Literasi Informasi yang terdiri atas literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi teknologi, literasi media, dan literasi visual. Literasi dasar yang dianggap paling penting terdiri atas kemampuan/keterampilan membaca-menulis, menyimak-berbicara, berhitung-menghitung, dan mengamati-menggambar.

Terkait literasi, kadar kecendekiaan seseorang memang dapat diukur dari tingkat literasi dasarnya yang terus berkembang mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sebuah tragedi dapat terjadi memang ketika perkembangan literasi dasar itu dihentikan dengan cara tidak mewajibkan para peserta didik membaca--dalam hal ini yang diharapkan adalah membaca karya sastra.

Ilustrasi - anak-anak rajin membaca buku (Shutterstock)

Sastra makin terpinggirkan di sekolah-sekolah. Ilmunya hanya disinggung sedikit pada mata pelajaran bahasa Indonesia yang tidak lebih penting dari pengajaran berbagai rumus linguistik. Namun, yang paling gawat adalah karya sastra tidak lagi menjadi bahasan untuk merangsang kecendekiaan tadi.

Rupanya tragedi ini menjadi perhatian kementerian yang dianggap paling bertanggung jawab dan kini dikepalai seorang Anies Baswedan. Muncul kabar dari revisi Kurikulum 2013 (K-13). Kewajiban membaca buku sastra dimasukkan ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dengan kuantitas 6 judul untuk SD, 12 judul untuk SMP, dan 18 judul untuk SMA/SMK. Artinya, sepanjang mengikuti pendidikan dasar, peserta didik akan membaca 36 judul buku sastra.

Buku sastra yang disarankan untuk dibaca pun tidak terbatas pada buku sastra "kelas berat" atau disebut "sastra kanon", melainkan juga sastra populer, termasuk sastra daerah. Buku sastra memang diharapkan menjadi jalan pertama dan utama membangkitkan minat membaca siswa.

Informasi revisi K-13 tentang kewajiban membaca ini tentu menggembirakan dan menjawab penghentian Tragedi Nol Buku. Negara ini selalu dibanding-bandingkan dengan negara lain yang memang mewajibkan siswanya membaca buku dalam jumlah kuantitas judul tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun